Minggu, 30 Agustus 2009

renungan

Kamis Putih

 

Ibu, bapa, sdr(i) dan rekan muda serta adik-adik yang terkasih, sugeng daluh, berkah dalem. Sebelum saya memulai renugan saya, saya ingin memperkenalkan diri terlebih dahulu, karena pasti banyak di antara kita yang belum mengenal saya. Nama saya, Fr. Cornelius Timang. Biasa dipanggil Fr. Kornel. Saya adalah calon imam praja, KAMS. Asal saya dari Solo..(Solowesi). Sekarang tinggal di Anging Mammiri Jakal Km. 7,4.

Ibu, bapa, sdr(i) dan rekan muda serta adik-adik yang terkasih, apakah ada di antara kita yang hadir di sini yang telah mengetahui hari kematiaanya? Unjuk jari…yang belum juga… Karena belum ada yang mengetahui hari kematiannya, maka kita berandai-andai saja. Seandainya pada saat ini, Tuhan langsung datang pada kita dan segera mengatakan bahwa besok tepat jam 3 soreh kita akan mati. Kira-kira apa yang akan kita buat. Tanya beberapa orang..

Suatu hari ada seorang pria mendatangi seorang guru yang bijaksana, "guru, saya sudah bosan hidup. Saya benar-benar sudah jenuh dengan hidup ini. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau. Istri saya sakit-sakitan. Apapun yang saya lakukan pasti tidak berhasil. Saya ingin mati". Sang guru hanya tersenyum, "oh, kamu sakit ya..?" Tidak, saya tidak sakit. Saya sehat kok. Hanya saya jenuh dengan kehidupan ini. itulah sebabnya saya ingin mati".

"Oooo…itu berarti kamu sakit. Penyakitmu itu namanya, 'Alergi Hidup'. Ya kamu alergi terhadap kehidupan. Memang penyakit itu sedang mewabah sekarang. Banyak orang yang kini alergi terhadap hidup. Karena itu mereka hidup ogah-ogahan, bekerja tetapi selalu tidak berhasil, berdoa tapi tidak dikabulkan. Makanya tidak heran jika banyak orang yang sakit". Kata sang Guru sambil terbatuk-batuk.

"Ya namanya usaha pasti ada pasang-surutnya. Dalam berumah tangga berantakan-berantakan kecil itu memang wajar dan lumrah. Persahabatan pun tidak selalu langgeng, tidak abadi. Apa sih yang langgeng, yang abadi dalam hidup ini? Kamu tidak menyadari sifat kehidupan ini. Biasanya, kita ingin mempertahankan suatu keadaan, tetapi kemudian kita gagal, lalu kecewa dan menderita" lanjutnya. Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku" demikian kata Sang Guru dengan serius sambil mengangkat-angkat telunjuk jarinya. "Tidak. Tidak guru. Saya betul-betul jenuh. Saya tidak ingin hidup lagi". Pria itu menolak tawaran sang guru. "Jadi kamu tidak ingin sembuh? Kamu benar-benar ingin mati?" kata sang guru dengan nada meninggi. Dengan mantap pemuda itu menjawab, "Ya, memang saya sudah bosan hidup. Saya ingin mati"

"OK. Baiklah. Besok kamu akan mati. Ambillah botol ini. Setengah botol diminum malam ini. setengah botol besok jam 6, dan jam 8 engkau akan mati dengan tenang" Giliran dia yang menjadi bingung. 'Aneh.., setiap orang yang saya datangi selama ini selalu berupaya memberikan semangat untuk hidup. Tapi orang ini aneh. Ia bahkan menawarkan racun. Tapi karena saya sudah benar-benar jenuh dengan hidup ini. Ya saya akan menerimanya", kata pemuda itu dalam hati. Ia pun segera mengambil botol itu dan segera pulang.

Malam itu ia segera meminum setengah botol yang disebut "obat" itu. Tetapi memang ia benar-benar merasa tenang. Ia tidak pernah merasakan ketenangan seperti ini. Ia merasa begitu rileks dan begitu santai. Tinggal 1 malam, 1 hari, dan ia akan mati. Ia akan terbebaskan dari segala macam masalah. Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarganya di restoran paling terkenal. Hal ini adalah sesuatu yang sudah lama ia tidak pernah lakukan selama beberapa tahun terakhir ini karena ia terlalu sibuk. Pikir-pikir, malam itu, ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sambil makan ia bersenda-gurau. Suasana sangat santai. Sebelum tidur ia mendekati istrinya dan menciumnya…ummma…, sambil berbisik, "sayang aku mencintaimu". Karena malam itu adalah malam terakhir, ia ingin meniggalkan kenangan manis! Keesokan harinya setelah bangun, ia membuka jendela kamarnya dan melihat ke luar. Tiupan angin pagi itu menyengarkan tubuhnya. Dan ia tergoda untuk melakukan lari pagi. Setengah jam kemudian, ia menemukan istrinya masih tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat 2 gelas kopi. Satu untuknya dan satu lagi untuk istrinya. Kerena pagi itu adalah pagi terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Sang istri pun merasa aneh. Lalu ia berkata, "sayang, apa yang terjadi?" "Selama ini mungkin aku salah. Maafkan aku sayang!"

Di kantor ia menyapa setiap orang dan bersalaman degannya. Para stafnya pun bingung. "Hari ini, bos kok aneh?" kata seorang dengan yang lain. Karena hari itu adalah hari terakhir dalam hidupnya, maka ia pun ingin meninggalkan kenangan manis bersama para stafnya. Dengan perbuatannya itu tanpa disadari para stafnya pun berubah menjadi ramah. Segala sesuatu di sekitarnya berubah. Ia pun berubah menjadi orang yang lebih toleran, ramah dan mendengarkan pendapat orang lain. Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia mulai menikmatinya.

Pulang ke rumah, jam 5 soreh, ia menemukan istri tercintanya telah menungguinya di beranda depan. Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman kepadanya, sambil berkata, "sayang, sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkan kamu". Anak-anaknya pun tidak ketinggalan. "Pi, maafkan kami semua. Selama ini papi selalu stress karena perilaku kami". Mereka sekeluarga pun berpelukan.

Kehidupan sang pemuda kembali menjadi indah. Kemudian mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Tetapi  bagaimana dengan obat yang telah ia minum. Ia mendatangi sang guru lagi. Melihat wajah pria itu, sang guru langsung mengetahui apa yang telah terjadi. Belum ia berkata apa-apa, sang guru langsung berkata, "buang saja botol itu. Isinya hanya air biasa. Kamu sudah sembuh.

Ibu bapa dan saudara(i) yang terkasih dalam Yesus Kristus. Hari ini kita memperingati malam Perjamuan Terakhir antara Yesus dengan para muridNya. Hari ini adalah malam perpisahan Yesus dan muridNya. Yesus telah mengetahui bahwa besok ia akan mati. Karena itu ia ingin meniggalkan kenangan terindah dengan para muridnya. Apa yang Yesus lakukan? Ia memanggil murid-muridnya dan mereka melakukan perjamuan bersama. Melakukan perjamuan pada hari sebelum paska ini biasa dilakukan oleh orang pada zaman itu. Sebenarnya ini tidaklah begitu istimewa. Yang istimewa adalah bahwa dalam perjamuan malam itu Yesus menaggalkan jubahNya, lalu mengikatkan sehelai kain pada pinggangnya dan membasuh kaki para muridnya. Membasuh kaki? Ini adalah suatu pekerjaan yang sangat tidak layak dilakukan oleh seorang guru kepada mudridnya. Ini adalah pekerjaan yang seorang hamba pun tidak melakukannya. Membasuh kaki itu adalah pekerjaan yang paling hina. Kaki adalah suatu lambang martabat paling hina. Jadi kalau Yesus membasuh kaki muridNya, berarti Ia sungguh merendahkan diri serendah-rendahnya.

Ibu-bapa saudara(i) dan rekan-rekan muda serta adik-adik yang terkasih. Jika pada bagian awal tadi saya bertanya kepada kita semua bahwa apakah kita mengetahui kapan kita akan mati, ternyata tidak ada yang tahu. Berbeda dengan Yesus. Jauh hari sebelumnya Ia telah mengetahui kapan ia akan mati. Dan bahkan skenario kematiaannya pun sebenarnya Ia sudah tahu. Ia sudah tahu bahwa ia akan dihianati oleh muridnya sendiri, diitolak oleh orang sebangsanya, ditinggal pergi oleh muridNya, disangkal oleh Petrus sampai 3 kali, diserahkan kepada tua-tua dan ahli-ahli taurat, diadili secara tidak adil, disiksa, diolok-olok, diludahi, dan sampai disalibkan. Semua itu sudah diketahuinya sejak awal. Sudah sejak awal Ia juga diberikan kuasa. "Yesus tahu bahwa Bapa telah mempercayakan segala sesuatu kepadaNya". "Segala sesuatu" berarti apa pun yang akan terjadi pada dirinya, bisa saja ia kendalikan. Termasuk matinya secara demikian. Yesus bisa saja menjadi seperti spiderman atau manusia superhero lainnya. Atau bisa juga ia melakukan magic-magic seperti yang dilakukan oleh Limbat dalam The Master itu. Bahkan melebihi semuanya itu. SebeanarnyaYesus PASTI bisa mengatasi semua itu. Lalu menjadi tanda tanya besar bagi kita semua: Mengapa Yesus mempergunakan kekuasaannya itu tetapi justru melakukan semua itu? Jawabannya adalah KASIH atau CINTA

Apa itu cinta? Mudika apa itu cinta? Cinta itu perasaan sayang, suka, tertarik, senang... Katanya katanya Loh, kalau seorang itu jatuh cinta itu, makan tahu bacem pun terasa makan pitzza, ikan teri terasa paha ayam, kalau tidak bertemu sehariii saja, terasa setahun…pokoknya kalau cinta itu sungguh menyenangkan…katanyaa…Seorang yang jatuh cinta itu juga rela mengorbankan segalanya demi dia yang dicintainya itu.

Dulu di seminari ada teman saya yang jatuh cinta pada seorang gadis. Gadis itu adalah anak asrama putri yang berada di dekat seminari itu. Teman saya itu pokoknya rela mengorbankan apapun asalkan di bisa bertemu dengan gadis itu. Pernah dia merelakan potusnya (snack)nya kepada saya hanya karena saya mengatakan bahwa dia akan saya antar untuk menemui pacarnya itu pada hari Minggu asalkan dia memberikan potusnya hari itu. Kalau hari Minggu ia rela meminjam baju teman yang lain hanya karena ia ingin tampil gagah pada saat itu. Tidak lupa minyak rambut dan sedikit parfum.

Ibu-bapa dan saudara-saudara terkasih dalam Yesus Kristus. Cinta itu membutuhkan perngorbanan. Yesus mencintai kita. Justru karena cintanya itulah maka ia rela menghambakan diri dan mengambil rupa seorang hamba, membasuh kaki muridnya, dan bahkan rela mati secara sungguh tidak terhormat. Mati disalib itu adalah suatu cara mati yang paling hina. Seorang yang disalib itu hanyalah seorang penjahat kelas kakap, misalnya pembunuh. Jadi kalau Yesus mati disalib itu bararti Yesus dianggap sebagai penjahat. Padahal kalau dilihat, dosa apa yang dialakukan oleh Yesus? Apakah dia pernah membunuh? Tidak. Sebenarnya Yesus mati itu hanya karena ia dituduh secara tidak adil oleh para tua-tua dan ahli-ahli taurat. Mereka menganggap Yesus sebagai pemberontak. Padahal sebenarnya hanya karena mereka cemburu / iri melihat pamor Yesus semakin naik. Yesus semakin terkenal, pengikutnya semakin banyak. Orang-orang yang selama ini mengikuti mereka sekarang justru ikut Yesus. Maka itu mereka khawatir jangan sampai nanti mereka tidak punya pengikut lagi. Itu berarti kekuasaan dan penghasilan mereka terancam. Sementara Yesus melakukan semua itu hanya untuk menyelamatkan manusia. Bukan untuk mencari pengikut. Atau untuk menjadi terkenal. Kita pun sering demikian. Kita iri hati terhadap keberhasilan orang lain, orang lain dianggap sebagai saingan. Karena itu melakukan segala cara untuk menghambat karier atau keberhasilan orang lain itu.

Ibu-bapa, kaum muda dan adik-adik yang terkasih dalam Yesus Kristus. Dari bacaan yang kita dengarkan hari ini ada beberapa hal yang bisa menjadi bahan permenungan bagi kita, yakni: Yesus sungguh mencintai kita. CintaNya kepada kita itu diberikan secara cuma-cuma. Karena itu kita dituntut untuk juga membagi cinta itu secara cuma-cuma yakni saling melayani, saling membasuh kaki. Dalam melayani jangan tunggu sampai orang lain melayani terlebih dahulu barulah kita melayaninya. Kecenderungan lain adalah bahwa kita kadang menuntut yang lebih muda untuk melayani terlebih dahulu. Yesus mengajarkan kepada kita bahwa sikap pelayanan itu hanya bisa muncul jika kita rela menanggalkan "jubah kita". Menanggalkan status quo kita, menanggalkan jabatan kita, menanggalkan umur kita. Jadi kita diajak untuk mencintai sesama kita karena Tuhan lebih dahulu mencintai kita. Itu yang pertama.

Kedua, cinta kepada sesama itu hanya bisa muncul jika kita telah berhasil mencintai diri kita. Cinta diri di sini tidak berarti egois. Cinta diri yang saya maksud adalah mensyukuri segala karunia yang kita dapatkan dalam hidup kita. Bersyukur atas bentuk fisiknya: hitam, kurus, cantik, gemuk, pendek PEPSI, hidung mancung ke dalam, keriting, dll. Bersyukur atas keluarga, pekerjaan, teman, pasangan hidup, tempat tinggal, dll. Cinta kepada diri akan menghambat terjadinya penyakit "alergi hidup". Hanya orang yang tidak alergi hiduplah yang bisa mencintai orang lain.

Ketiga, mencintai alam. Memang tidak nampak jelas dalam bacaan, namun peran alam dalam hidup kita itu sangat penting. Kita hanya bisa saling mencintai jika tidak terjadi bencana alam, longsor atau banjir.

Dan yang paling penting adalah cinta pada Tuhan. Cinta pada Tuhan itu dapat diwujudkan dalam kerinduan kita untuk selalu bertemu denganNya, entah dalam doa, ibadat bersama, kegiatan-kegiatan lingkungan ataupun kegiatan Gerejani lainnya. Juga dapat dilakukan dengan kerinduan kita untuk berekonsiliasi denganNya melalui sakramen tobat.

Ibu-bapa saudara(i) yang terkasih dalam Yesus, semoga melalui keteladanan Yesus untuk saling mencintai dan mengasihi, kita juga dapat saling mengasihi dalam hidup kita. Mengasihi sesama, mensyukuri karunia Tuhan dalam hidup kita, mencintai alam dan yang paling penting adalah mencintai Dia yang telah mencintai kita secara cuma-cuma.

Kemuliaan, kepada Bapa dan Putera dan Roh Kudus…

 

Jakal, 6 April 2009

 

 


Cinta kasih

MAAFKAN AKU AYAH!!!

 

Sebut saja Oldesimus. Umurnya sudah lanjut, kira-kira 80 tahun. Tubuhnya sudah bungkuk. Rambutnya sudah beruban dan suaranya pun sudah tidak jelas lagi. Jika berbicara ia sering ngalur-ngidul karena sudah pikun. Sisa hidupnya harus dihabiskan di atas kursi roda karena ia terkena penyakit stroke.

Suatu hari ia duduk di beranda rumahnya bersama dengan anaknya. Anaknya itu adalah seorang yang berpendidikan tinggi. Dia kaya. Rumahnya mewah dan ia tinggal bersama dengan istri dan anak-anaknya. "Nnnaakk... aa apa ittu?", katanya pada anaknya yang sedang duduk di depannya membaca koran. "Itu mobil", jawabnya singkat. Setelah beberapa menit, sang ayah bertanya kepada anaknya untuk kedua kalinya, "Aappaa itu?""Sudah kukatakan itu MOBIL....!!!" jawabnya sambil menatap sang ayah dengan tajam. Setelah beberapa saat, pak Oldesimus bertanya lagi untuk ketiga kalinya, "Aappaa itu?" Dengan wajah merah dan penuh kekesalan, sang anak melemparkan koran yang dibacanya dan menghampiri ayahnya sambil berteriak, "ITU MOBIL!!!". Setelah itu, sang ayah masih bertanya lagi untuk keempat kalinya, "Aaaa apa iii tu?" Sang anak tidak bisa lagi menahan emosinya, "Kenapa ayah selalu bertanya kepada saya 'apa itu dan apa itu terus. Saya telah mengatakannya berkali-kali, itu M O B I L. Apakah ayah tidak mengerti? Saya mau pake bahasa apa lagi supaya ayah mengerti?" Ia segera meninggalkan ayahnya, dan dengan penuh kekesalan ia masuk ke dalam rumah dan membanting pintu. Braakkk!!! Dalam hati ia berkata, dasar orang tua, sudah tua, pikun, penyakitan, jadi beban, HIDUP LAGI.

Dari kejauhan terdengar suara Si Ones anak bungsunya yang masih duduk di bangku TK, "Pi...papi...papi liat ini, aku udah bisa buat kapal telbang. Liat pi... bagus kan?" Kata Si Ones sambil memperlihatkan sebuah mainan kapal terbang yang terbuat dari kertas. "Oh...anakku pintar, udah bisa buat kapal terbang. Tadi di sekolah ibu guru ajari Ones buat ini yah. Bagus sekali", katanya sambil merangkul si Ones yang masih menggunakan seragam TK. "Iya pi, ibu gulu ajalin Ones buat kapal telbang. Tapi buatan Ones lebih bagus lho pi", katanya bangga sambil memperlihatkan sebuah mainan kapal terbang yang dibuatnya dari kertas yang sudah lusuh. "Memang anak papi yang satu ini sangat pintar. Dulu waktu papi seumur kamu, papi tidak bisa buat yang kayak gini lho. Ya, sudah ya... Ones ganti baju lalu makan setelah itu tidur siang ya. Nanti kalo udah bangun kita mau jalan-jalan". "Tapi Opa ikut kan pi? Kasian tuh Opa slalu ditinggalin di rumah kalo kita pergi. Pokoknya Opa ikut. Janji ya pi?" Si Ones merengek. "Iya, deh. Sini cium papi dulu" ummaaah. "Eh...Ones", panggilnya "Kamu ambil dimana kertas ini" "Oh... itu Ones ambil di kamar Opa". Katanya sambil berlari ke kamarnya. Beberapa saat kemudian ia tidak kelihatan lagi.

Sang papi tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengamati kertas lusuh yang dipegangnya sekarang. Kertas yang kini telah menjadi sebuah mainan kapal terbang ternyata terdapat goresan-goresan tinta yang sudah tidak jelas lagi. Di dalamnya tertulis demikian: Hari ini anakku berusia 3 tahun duduk denganku di beranda rumah. Ketika sebuah mobil lewat, anakku bertanya kepadaku 'apa itu?' Berulang-ulang pertanyaan itu diucapkan bahkan sampai 40 kali. Aku menjawabnya sebanyak 40 kali. 'Itu mobil nak!!!' kataku sambil memeluknya. Sedikitpun aku tidak kesal. Justru aku sangat senang karena anakku sudah bisa bicara.... Ia tidak sanggup lagi meneruskannya. Hatinya terasa tertusuk sebuah pedang yang amat tajam.  

Ketika aku bertanya kepada ayahku sebanyak 40 kali, ia sama sekali tidak kesal. Tetapi ketika dia bertanya hanya 4 kali dengan pertanyaan yang sama padaku, jawaban yang kuberikan ternyata adalah kekesalan, kemarahan dan caci maki. Dia yang sudah tua dan tak berdaya kadang-kadang tidak lagi kuperhitungkan dan kuperhatikan. Padahal aku pasti tidak akan seperti ini seandainya dia  tidak merawatku sejak kecil. Apa jadinya jika seandainya saat itu dia tidak mau merawatku, tidak mau mendidikku, tidak mau mengajariku, ataukah tidak mau mengakuiku sebagai anaknya. Apakah aku langsung jadi seperti ini? Apakah aku langsung mampu berjalan, mampu bicara, pakai baju, makan sendiri dan memenuhi kebutuhanku sendiri. Pasti TIDAK!!! Dia yang selama ini menjadi tumpuan kehidupanku, dia yang selalu memperhatikan dan memenuhi hidupku, dia yang menanggung panasnya terik matahari dan dinginnya malam untuk menjagaku dan dia yang mengajariku membedakan yang baik dan yang jahat sudah tidak berdaya, mengapa aku justru membentak, memarahi, mencaci dan melayaninya dengan sungut-sungut.

Ia tidak mampu menahan tangisnya. Air mata pun jatuh bercucuran. Ia sungguh menyesal. Selama ini ternyata dia salah sangka terhadap ayahnya. Ia justru membalas kasih sayang dan perhatian ayahnya dengan caci-maki dan kebencian. Air susu kini dibalas dengan air tuba. Ia langsung berlari keluar dan mendapati ayahnya yang duduk sendiri tak berdaya di atas kursi roda. Ia mendekatinya dan memeluknya erat-erat. "Yah.. ayah, maafkan aku. Aku telah berbuat salah terhadap ayah. Aku sungguh anak yang tidak tahu diri. Selama ini aku tidak ikhlas merawat ayah. Aku bahkan menganggap ayah sebagai beban dalam keluargaku. Aku kadang menyebut ayah sebagai orang tua yang tidak berguna. Aku telah berdosa ayah. Maafkan aku ayah. Maafkan aku. Mulai sekarang aku akan merawat ayah dengan baik. Aku akan memberikan yang terbaik untuk ayah sebagaimana ayah telah menyayangiku sejak aku kecil. Ayah aku akan memberikan  yang terbaik untukmu. Aku akan mengatakan kata-kata yang baik dan indah untukmu, bukan cacian, omelan dan kata-kata kasar. Aku ingin melihat ayah bahagia selamanya".

Kaliurang, Maret 2008

Tulisan ini pernah dimuat di majalah DIALOG

 

 


Masa depan Pendidikan imam

Lain Dulu Lain Sekarang

 

 

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 05.25, namun suasana kapel masih sepi.

Apakah mungkin para frater belum sadar bahwa misa hari ini adalah misa komunitas? Jangan-jangan  mereka masih tertidur pulas di atas kasur nan empuk bersama bantal yang setia menunggu. Ah, tetapi hari ini kan hari Senin, masakan para frater sudah lupa hari, pikirku dalam hati. Sekali lagi kupalingkan wajahku pada  jam dinding  kusam yang berada tepat di belakangku. Ah, jam begini seharusnya semua frater sudah berada di kursi masing-masing untuk mempersiapakan diri memadahkan kidung dan Mazmur dari buku ibadat harian. Namun sayup-sayup kudengar sang pemimpin ibadat telah melantunkan doa Angelus.  Itu pertanda ibadat sudah dimulai. Tidak ada lagi yang ditunggu.

Suasana sepi masih terus terlihat pada hari-hari selanjutnya. Banyak kursi yang kosong. Lantunan lagu yang selama ini terdengar meriah, kini hanya sayup-sayup terdengar.  Tak adakah yang peduli??

 

Memprihatinkan!!!

Sunyi, sepi,  kering dan senyap.  Itulah suasana Seminarium Anging Mammiri saat ini. Suasana di lapangan olahraga tidak seramai dulu lagi. Banyak cabang olahraga yang tidak bisa lagi dimainkan karena kurang personelnya. Kamar-kamar para frater banyak yang kosong. Refter menjadi sepi dan  tugas seksi untuk organisasi kebidelan kini hanya ditangani oleh satu atau dua orang saja. Anging Mammiri yang selama ini dikenal sebagai produsen imam praja terbesar setelah Semarang dan Flores, kini tidak  lagi. Masa jaya pada era tahun 90-an ketika para frater mencapai 50-an orang, kini tinggal kenangan.

Tahun ini, para frater yang tinggal di AM (Anging Mammiri biasa disingkat AM)  hanya 15 frater. Tingkat I kosong (sebenarnya 2 frater, tetapi dipulangkan untuk sementara karena belum mengikuti TOR), tingkat II ada 6 frater, tingkat III 2 frater, tingkat IV 6 frater (1 frater sedang menjalani  ekstra-domus),  tingkat V ada 2 frater dan tingkat VI kosong. Dari ke-16  plus 2 Torer dan 6 Toper itu, yang kelak akan menjadi imam berapa orang? Pada 8 tahun ke depan, pertambahan imam paling banyak 20 orang.  Sementara itu jumlah umat saat itu pasti akan jauh lebih banyak. Pada tahun 2006 jumlah umat KAMS adalah sekitar 190.181 jiwa, yang dilayani 89 imam. Dapat dibayangkan betapa minimnya jumlah imam KAMS pada 10 tahun mendatang. Dan saat itu jumlah umat mungkin sudah mencapai 200.000-an jiwa.

Jika pertambahan jumlah umat yang sangat pesat tidak diimbangi oleh bertambahnya jumlah imam, 10-20 tahun ke depan KAMS mungkin akan kembali mengalami krisis imam. Atau bahkan akan kembali mengulang sejarah pada akhir tahun 1970 yaitu ketika Dewan Pastoral  se-kota Makassar menulis surat ke KWI agar mengajukan permohonan ke Vatikan untuk diberi kemungkinan ditahbiskannya  imam yang berkeluarga. Alasannya, saat itu imam yang ditahbiskan sebelumnya mengundurkan diri. Apalagi banyak frater yang juga  mengundurkan diri. Saat ini masalahnya adalah memang karena calon imam yang sangat berkurang. Para seminaris di SPECLA (Seminari Menengah St. Petrus Claver Makassar) lebih banyak yang memilih menjadi awam daripada menjadi imam, apalagi imam praja. Untuk tahun ini, seminaris SPECLA yang lanjut ke TOR hanya 1 orang.

Berhadapan dengan kenyataan seperti ini, kita patut bertanya mengapa demikian? Sudah selayaknyalah kita mengkaji lebih jauh, apakah penyebabnya? What's wrong???

 

Ada Apa Dengan Seminari???

Merosotnya jumlah calon imam praja KAMS dalam beberapa tahun terakhir ini  menjadi keprihatinan tersendiri bagi Uskup, imam, frater dan bahkan umat secara keseleruhan. Karena itu, dalam salah satu sesi pada retret bulan Juni yang lalu, para frater AM secara khusus membahas masalah ini. Rm. Kusumawanta dari komisi Seminari KWI selaku pembimbing retret, membagi para frater dalam beberapa kelompok untuk berdiskusi tentang penyebab berkurangnya calon Imam KAMS. Dari sekian banyak penyebab yang dikemukakan, sekiranya dapat disimpukan menjadi beberapa poin yaitu: pengaruh perkembangan zaman, masalah keluarga dan masalah formatio.

Pengaruh Zaman

Seminari sebagai bagian dari masyarakat global, tidak dapat lagi membendung pengaruh perkembangan zaman. Hedonisme, konsumerisme, egoisme dan budaya instan sebagai dampak perkembangan zaman, kini menembus tembok-tembok asrama atau biara. Lihat saja seminaris sekarang ini. Pada waktu rekreasi, sangat jarang dijumpai seminaris yang berkumpul di pendopo atau di ruang rekreasi, bercerita, bersharing atau sekadar ngobrol. Sebaliknya akan lebih banyak kita jumpai seminaris yang duduk sendiri sambil mendengarkan walkman, MP3, MP4 dan ipod. Atau pada hari Minggu pada waktu ambulatio (saat dimana seminaris boleh keluar dari asrama), seminaris jarang sekali mengajak teman-temannya untuk ambulatio bersama ke rumahnya atau ke rumah keluarganya. Akan lebih banyak yang pergi sendiri ke mall atau warnet. Tampaknya nilai-nilai kebersamaan, solidaritas sudah semakin memudar. Akibatnya, masing-masing seminaris sibuk dengan dunianya sendiri. Sehingga ketika menjumpai masalah dalam pangggilannya, ia akan bergulat sendiri dan mengambil langkah sendiri. Padahal  teman-teman sepanggilan, terutama teman seangkatan sangat berperan penting dalam panggilan.

Kecuali itu, perkembangan ilmu pengetahuan yang diiringi oleh perkembangan teknologi, kini memberikan tawaran yang lebih menarik dan menjanjikan. Misalnya  jurusan Teknologi Informasi atau STAN (Sekolah Tinggi Administrasi Negara) yang prospeknya sangat  menjanjikan. Bagaimana mungkin para seminaris tertarik untuk menjadi imam bila ada tawaran hidup yang lebih memikat dan menggiurkan yang sangat bertolak belakang dengan yang ditawarkan kehidupan imam?

Nilai-Nilai dalam Keluarga

Keluarga biasa juga disebut sebagai seminari kecil. Dalam keluargalah dasar-dasar iman dan nilai-nilai Kristiani ditanamkan. Keluarga juga memegang peranan penting dalam panggilan. Ada banyak seminaris yang akhirnya menjadi imam berasal dari keluarga Kristiani yang sangat beriman. Kebanyakan adalah para aktivis Gereja, misalnya pengantar, katekis, guru agama ataupun pengurus Gereja. Tetapi sebaliknya ada pula seminaris yang sebenarnya ingin menjadi imam tetapi berhenti karena keluarganya tidak setuju. Alasannya entah karena dia anak tunggal, atau karena hanya dia anak laki-laki dalam keluarganya.  Ada pula keluarga yang patut diacungi jempol, karena ia tetap mendukung dan memberikan kebebasan kepada anaknya untuk menjadi imam kendatipun orang tuanya berbeda agama.

Dalam salah satu kegiatan live-in, saya bertemu dengan seorang ibu yang mengatakan, "Ter, kami mendoakan semoga frater kelak bisa menjadi imam dan juga semoga semakin banyak anak muda yang terpanggil untuk menjadi imam." Setelah berkata demikian, suami ibu itu langsung berkata, "Tetapi kalau anak kita yang jadi imam?" Ibu itu langsung terdiam. Doa dan dukungan memang penting, tetapi yang lebih penting adalah tindakan nyata yang terwujud dalam pengorbanan.

Masalah Formatio

Benih panggilan yang tumbuh dalam diri seorang seminaris akan sangat bergantung pada proses formatio selama di Seminari. Yang terlibat langsung dalam proses formatio itu adalah formator (staf), formandi (seminaris) dan yang paling utama adalah Formator Utama yaitu Yesus. Ketiga pihak ini harus saling mendukung dan saling memberikan iklim yang kondusif untuk semakin suburnya panggilan itu.

Seorang formator seharusnya  bisa menjadi formator yang baik bagi seminarisnya, sehingga mereka dapat membantu dalam pembentukan jati diri seminaris agar dapat menjadi imam yang handal. Oleh karena itu, sebaiknya formator juga mempunyai jati diri yang handal, memiliki kekayaan rohani yang cukup, bijaksana, kreatif, berwibawa, emosi dan afeksi yang matang, cerdas, berjiwa muda dan yang paling penting adalah dapat diteladani.

Para seminaris juga harus rela memberi diri untuk dibentuk. Yang harus selalu diingat adalah bagaimanapun juga posisi seminaris adalah formandi atau yang dibentuk. Sikap penyerahan diri dan kerelaan untuk dibentuk sangatlah penting. Namun dalam proses pembinaan, seminaris kadang-kadang merasa lebih pandai daripada stafnya. Karena itu, kritikan, rasa tidak setuju atau tidak bisa menerima akan selalu terdengar. Dan yang selalu disalahkan pastilah staf.

Dalam suatu perbincangan dengan beberapa eks-seminari, saya menanyakan mengapa mereka tidak ingin menjadi imam. Mereka hanya menjawab singkat, "Karena staf." Ternyata alasan seperti ini sangat populer dan menjadi alasan mayoritas eks-seminari. Bagi saya, alasan seperti ini sangat tidak masuk akal dan sangat dangkal. Yang akan menjadi imam siapa: staf atau saya? Padahal dikatakan bahwa formator utama adalah Tuhan yang telah memanggilnya. Staf hanya mendampingi, mengarahkan dan menunjukkan jalan bagi seorang seminaris untuk menjadi imam.

PR Kita…

Semangat untuk menjadi imam dan khususnya menjadi imam praja KAMS memang kini berkurang. Ini menjadi PR kita bersama, baik uskup, imam, staf, seminaris, keluarga dan umat pada umumnya. Tidak ada pihak yang patut disalahkan. Ini adalah masalah kita bersama. Karena itu dibutuhkan: pertama, partisipasi kita semua. Mari kita bertanya pada diri kita, sudah sejauh mana partisipasi saya dalam proses perkembangan dan kelanjutan panggilan imam? Sejauh mana saya telah menjalankan tugas saya sebagai imam atau staf dengan baik? Dan bagi calon imam, sudah sejauh mana saya membuka diri untuk dibentuk dan juga untuk saling mendukung dalam panggilan. Kedua, keteladanan dan kesaksian hidup. Apakah saya talah memberikan teladan yang baik bagi para seminaris saya atau bagi rekan sepanggilan saya? Saat ini promosi panggilan yang paling cocok adalah adanya kesaksian hidup. Dan yang ketiga, partisipasi dan keterlibatan. Mata seminaris sebaiknya dibuka untuk melihat realitas umat saat ini. Dan model live-in atau terjun langsung ke tengah umat sangatlah cocok. Tujuannya adalah agar seminaris peka melihat kebutuhan umat saat ini. Ternyata tuaian memang banyak, tetapi pekerjanya  masih sangat sedikit.

 


tulisan

TAHBISAN BUKANLAH PENGHAPUS KECENDERUNGAN MANUSIAWI

 

Romo juga manusia!!! Sebagai manusia, ia mempunyai kecenderungan-kecenderungan manusiawi. Kecenderungan manusiawi itu adalah sesuatu yang alamiah yang sudah melekat pada setiap manusia, misalnya yang paling nampak dalam bentuk perasaan. Kecenderungan manusiawi tidaklah terhapus dengan adanya tahbisan atau penerimaan kaul. Perasaan itu tetap ada dan akan tetap menyatu dengan pribadi seseorang. Dalam perjalanan panggilannya, para imam dan biarawan-biarawati akan selalu bergulat dengan kecenderungan dan perasaan manusiawi ini. Bagaimana ia menerima sifat kemanusiawiannya apa adanya dan di sisi lain ia juga harus menerima bahwa ia adalah pribadi yang "spesial" yang dipanggil oleh Allah secara khusus untuk menjadi perpanjangan tanganNya untuk melayani umat dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Untuk menjadi perpanjangan tangan Tuhan tidak berarti harus sempurna dan menjadi sama seperti malaikat. Pergulatan antara kemanusiawian dan kerohanian pasti akan selalu menjadi tema sentral yang harus dihidupinya selama hidupnya.

 

Kecenderungan manusiawi

Ada begitu banyak kecenderungan manusiawi dalam bentuk perasaan yang ada dalam diri manusia. Misalnya, sabar, baik hati, tulus, bertanggungjawab, jujur, peka, marah, jengkel, sombong, egois, frustasi, stress, sakit hati dan lain sebagainya. Kecenderungan-kecenderungan ini harus diolah dengan baik, karena olah pribadi ini akan sangat mempengaruhi relasi dengan orang lain dan juga penerimaannya terhadap dirinya sendiri. Pengolahan kepribadian yang baik akan membuatnya merasa in dengan panggilannya sebagai imam atau biarawan-biarawati, in dengan umat yang dilayaninya dan mencintai diri dan panggilannya. Namun jika tidak, yang muncul hanyalah perasaan tidak betah dengan pekerjaannya, dengan komunitasnya, dengan umatnya dan juga akan membenci panggilannya. Perasaan benci dan sakit hatilah yang akan selalu mewarnai perjalanan panggilannya.

Misalnya seorang Romo yang baru menyelesaikan studi doktoralnya di sebuah universitas di luar negeri. Ketika ia tiba di keuskupannya, bapak Uskup ternyata menempatkannya di sebuah paroki. Hal ini sama sekali tidak terpikirkan olehnya sebelumnya. Ia hanya membayangkan bahwa pasti ia akan menempati posisi yang paling tidak sesuai dengan gelar yang sekarang sudah ia sandang. Masakan saya hanya ditugaskan di paroki, pikirnya. Namun nyatanya dia memang ditugaskan oleh Uskup di sebuah paroki yang menjadi pusat sentrum karya pastoral di kevikevan itu. Hanya karena ketaatannya pada uskup, akhirnya ia terpaksa menjalani tugas itu, dengan berharap tahun depan ia akan dimutasi ke tempat yang lebih baik. Tahun demi tahun ia lalui tanpa semangat. Karya-karya pastoralnya tidak berjalan dengan baik, tugas-tugas yang berhubungan dengan pengembangan iman umat ia hanya jalankan setengah hati, bahkan ia menjadi semacam pemberontak di keuskupannya. Ide-ide tentang pengembangan keuskupan selalu saja ia tolak dan ia sudah tidak terlibat lagi dalam pertemuan-pertemuan UNIO keuskupan. Kejengkelan dan sakit hatinya semakin menjadi besar setelah satu periode tugasnya bapa uskup tidak kunjung memutasi dia. Akhirnya jalan terakhir yang ia tempuh adalah inkardinasi ke keuskupan lain.

Berbeda dengan pengalaman suster Lusi yang ditugaskan untuk mengurus sebuah rumah ret-ret di suatu tempat. Tugasnya menjadi pengurus dan penanggungjawab rumah retret itu ia jalankan dengan baik. Bahkan ia sudah merasa in  dengan pekerjaannya itu, kendatipun memang berat. Namun perasaan gembira dan senang itu mulai berubah ketika ia kedatangan seorang suster, namanya suster Maria. Oleh pemimpinnya suster Maria akan ditugaskan untuk bekerja bersama dengannya, karena pemimpinnya melihat bahwa karya rumah retret itu sudah semakin maju, suster Lusi sudah tidak sanggup lagi menghandel semuanya, karena itu suster Maria ditugaskan untuk membantu dia. Suster Lusi bukannya senang, dengan kedatangan suster Maria ia justru merasa bahwa suster Maria akan menjadi saingannya. Padahal mereka adalah teman seangkatan semenjak mereka menjadi aspiran.

Memang benar bahwa suster Maria menjadi saingan baginya. Setelah beberapa tahun berkarya bersama, suster Maria justru diangkat menjadi pemimpin dan penanggungjawab rumah ret-ret itu, menggantikan dirinya. Memang semenjak menjadi aspiran, suster Maria jauh lebih sukses dan terkenal serta lebih akrab dengan formator. Hal yang sama terjadi ketika mereka berkarya bersama. Suster Maria jauh lebih populer di antara para pengunjung yang datang ke wisma mereka, juga dia lebih akrab dengan para romo. Perasaan tidak suka terhadap suster Maria semakin hari semakin bertambah. Lama-kelamaan menjadi iri hati dan akhirnya menjadi luka batin. Perasaan tidak suka itu terwujud dalam dalam usahanya menghindari kegiatan-kegiatan bersama bahkan makan bersama pun tidak lagi. Baginya komunitas menjadi semacam neraka.

 

Tahbisan atau Penerimaan Kaul Bukanlah Jaminannya

Sebuah buku yang dikarang oleh Roderick Srtange yang berjudul The Risk of Discipleship: Imamat Bukan Sekedar Selibat dalam bab kelima yaitu tentang Panggilan Manusiawi dikatakan demikian: sifat dasar (kodrat) manusia tidak dapat diubah dengan adanya tahbisan. Rahmat memperkembangkan sifat dasar (kodrat). Rahmat tidak menggantikan sifat dasar (kodrat). Kita adalah diri kita sendiri. Sifat dasar dalam bentuk perasaan adalah sesuatu yang alami. Dan perasaan itu akan selalu ada dalam diri kita.

Perasaan adalah sesuatu yang tidak dapat disangkal, semua orang memilikinya, namun dalam kadar yang berbeda. Pada dasarnya perasaan dalam diri manusia bukanlah hal negatif yang harus ditekan dan dihilangkan. Perasaan itu alami. Ketika mengalami sesuatu, secara otomatis kita juga akan merasakan sesuatu. Misalnya, senang, puas, pasrah, jengkel, marah, khawatir, takut, bingung, jengkel, sakit hati dan lain-lain. Perasaan-perasaan itu akan muncul setiap saat sehingga lama-kelamaan akan menjadi tumpukan perasaan.. Yang menjadi masalah adalah ketika perasaan itu muncul namun kita tidak mengekspresikannya. Perasaan yang ditekan akan sangat mengganggu ketenangan kita. Apalagi jika perasaan itu berupa perasaan negatif, misalnya marah, jengkel, takut, sedih, bimbang dan lain-lain. Perasaan-perasaan seperti itu akan mengakibatkan sakit hati dan lama-kelamaan akan menjadi luka batin.

Suster Lusi dan Romo di atas adalah pribadi yang tidak dapat mengontrol dan mengolah perasaanya dengan baik. Ketika mereka mengalami sesuatu, mereka tidak langsung mengungkapkannya, justru mereka menyimpannya dan lama kelamaan menjadi luka batin. Ketika masih menjadi aspiran, suter Lusi sudah menyimpan perasaan negatif kepada suster Maria. Perasaan itu tidak pernah ia ungkapkan apalagi dikomunikasikan langsung kepada orangnya. Sang Romo pun tidak berterus terang kepada uskupnya dan berani mengungkapkan perasaanya itu. Ia terus bergulat dengan kekesalannya kepada uskup. Ketika tumpukan-tumpukan perasaan sakit hati itu semakin besar dan meledak, yang berbicara hanyalah emosi bukan lagi akal budi. Oleh karena itu santo Ignasius sangat menganjurkan untuk tidak pernah mengambil sebuah keputusan penting di saat perasaan tidak stabil.

Perasaan yang tidak diekspresikan sama seperti sebuah bola yang ditekan ke dalam air. Semakin lama dan semakin kuat ditekan, dorongan dari bawah akan semakin kuat pula. Dan ketika sekali waktu terlepas, bola itu akan terdorong jauh keatas. Ketika meledak, perasaan itu akan menjadi tidak terkontrol lagi dan akan menghasilkan tindakan-tindakan yang tidak kita sadari. Oleh karena itu, perasaan perasaan yang kita alami hendaknya selalu diolah. Jangan menunda dan jangan tunggu sampai besok. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri (Mat. 6:34). Kebiasaan melakukan examen (pemeriksaan batin) setiap hari sangatlah membantu. Karena pada saat itulah kita mengolah segala pengalaman dan perasaan kita hari itu.

 

Mengolah kecenderungan manusiawi

Kecenderungan manusiawi dan kebiasaaan masa lalu seorang imam atau biarawan-biarawati tidak hilang dengan adanya tahbisan. Kecenderungan manusiawi akan tetap ada karena pada dasarnya perasaan-perasaan itu memang sudah melekat dalam diri manusia. Karena itu kecenderungan manusiawi itu harus diolah. Adapun cara mengolahnya adalah:

Pertama, mengakui dan menghargai perasaan. Perasaan adalah sesuatu yang tidak bisa kita sangkal. Karena itu, mau tak mau kita harus mengakuinya. Mengakui perasaan berarti menyadari dan menerima perasaan apa yang sedang kita alami saat ini. Misalnya sedang jengkel, marah, sedih, iri, senang dan sebagainya. Pada dasarnya perasaan itu netral, belum ada unsur negatif atau positifnya. Karena itu, kita tidak perlu merasa bersalah jika kita mengalami perasaan benci, marah atau iri terhadap seseorang. Tindak lanjut dari perasaan itulah yang kemudian akan bernilai negatif atau positif yakni ketika perasaan itu diwujudkan dalam tindakan, karena itu sebelum diwujudkan, perasaan itu harus dinilai terlebih dahulu.

Kedua, menilai perasaan. Setelah menyadari perasaan itu, langkah selanjutnya adalah menilainya. Menilai perasaan sama dengan menimbang-nimbang atau melihat lebih jauh perasaan itu.. Misalnya dengan bertanya: apakah perasaan itu pantas  saya ungkapkan, apakah saya akan ungkapkan sekarang atau saya simpan lebih dahulu, lalu jika saya ungkapkan bagaimana saya mengungkapkannya, mengapa perasaan itu muncul: apa sebabnya?

Memang menilai sebuah perasaan yang muncul tidaklah mudah. Apalagi ketika kita sedang dikuasai oleh emosi. Oleh karena itu sebaiknya kita menenangkan diri lebih dahulu. Hal ini sama seperti seorang yang akan mencari sebuah benda yang baru saja jatuh ke dalam air yang keruh. Ia tidak akan mendapatkan benda itu jika ketika benda itu jatuh, ia langsung ingin mengambilnya. Air yang keruh itu sebaiknya ditenangkan lebih dahulu baru setelah tenang dan mulai jernih, benda itu dicari dan diambil. Perasaan juga demikian, harus ditenangkan lebih dahulu. Menenangkan diri itu sangatlah penting, karena tidak jarang konflik dengan orang lain itu disebabkan karena kita tergesa-gesa mengambil sikap atas perasaan yang kita rasakan.

Ketiga, mengungkapkan perasaaan. Bagaimanapun juga perasaan itu harus diungkapkan. Ada banyak cara untuk mengungkapkan perasaan, misalnya dengan men-sharing-kannya pada orang yang kita percaya, melakukan katarsis (mengungkapkan perasaan pada suatu kegiatan atau benda lain, misalnya pada buku harian) atau yang paling sering dilakukan yaitu mengungkapkannya dalam doa. Namun yang paling penting adalah kita harus berani berterus terang kepada pribadi yang bersangkutpaut dengan perasaan itu. Kadang-kadang luka batin terjadi karena adanya miskomunikasi. Suster Maria dalam contoh di atas mungkin saja tidak bermaksud menyaingi suster Lusi, demikian juga sang uskup yang tidak memutasi sang Romo, bisa jadi karena uskup melihat bahwa sang Romo memang lebih dibutuhkan di paroki daripada di tempat lain.

 

Penutup

Tahbisan atau kaul memang bukanlah penjamin terhapusnya semua kecenderungan manusiawi yang ada dalam diri para imam atau biarawan-biarawati. Perasaan-perasaan yang kadang-kadang berujung pada sakit hati dan luka batin akan selalu saja ada. Namun tidak berarti bahwa kecenderungan manusiawi itu menjadi penghalang untuk tetap mempertahankan panggilannya. Bahkan Yesus sebagai sang Guru kita pun mempunyai perasaan yang sama dengan kita. Dia juga pernah marah (Mrk.11:15), sedih dan menangis (Yoh.11:33; Mat.26:38), gembira (Luk.18:16) atau jengkel ketika murid-muridNya tidak mengerti pengajaranNya. Semua perasaan Yesus itu hendak menunjukkan kepada kita bahwa untuk tetap bertahan dalam panggilan tidak berarti bahwa kita harus selalu bersih secara total dari kecenderungan-kecenderungan manusiawi. Menjadi imam atau biarawan-biarawati tidak berarti harus sama seperti malaikat. Menjadi imam atau biarawan-biarawati berarti berani memepersembahkan kemanusiaan kita kepadaNya apa adanya dan berani menjadi abdiNya untuk menyebarluaskan kerajaanNya di dunia ini.

 

Oleh: Cornelius Timang

Kaliurang, 3 Mei 08


Kamis, 27 Agustus 2009

Pekerja Belakang Layar

Pekerja Belakang Layar
Perjalanan panggilan seorang calon imam tidak dapat dipisahkan dari keterlibatan banyak pihak. Keluarga, para staf, rekan seangkatan, dan tidak lupa para karyawan-karyawati juga mengambil peran yang sangat besar. Mereka mengambil bagian dalam perjalanan panggilan calon imam dengan caranya sendiri. Namun ketika seorang calon imam sudah menjadi imam, para karyawan atau karyawati sering terlupakan, bahkan bagi kebanyakan umat mereka tidak dikenal. Padahal mereka sangatlah berjasa dalam kehidupan para calon imam itu. Sebut saja misalnya Matius Slamet Hartono atau yang lebih akrab dipanggil Mas Slamet, karyawan di Seminarium Anging Mammiri, Yogyakarta.
Mas Slamet adalah salah satu karyawan senior yang telah mengabdikan lebih dari separuh hidupnya di Seminarium Anging Mammiri, Yogyakarta. Tahun ini ia genap 31 tahun mengabdi. Selama 31 tahun itu, pasti sudah banyak pengalaman yang dialaminya, entah yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Ketika ditanya lebih banyak suka atau duka yang dialami selama bekerja di Anging Mammiri, dengan tenang dan penuh kelembutan ia menjawab, suka dan duka dalam pekerjaan itu memang sudah seharusnya. Karena itu harus melakukan pekerjaan dengan senang hati.

Kuncinya adalah Kesabaran
31 tahun lalu, tepatnya bulan Mei tahun 1978, atas permintaan Pastor A. Denissen, CICM, Mas Slamet pun mulai bekerja di Anging Mammiri. Sebelumnya ia telah mengabdikan diri selama 7 tahun di Seminari Tinggi Kentungan. Saat itu pula para frater KAMS juga masih bergabung dengan para frater KAS (Keuskupan Agung Semarang). Namun karena jumlah calon imam KAMS semakin banyak dan asrama Seminari Tinggi Kentungan sudah tidak mampu menampung mereka, maka para frater KAMS pun membuat asrama sendiri yang letaknya hanya 400 meter sebelah utara Seminari Tinggi Kentungan.
31 tahun bukanlah waktu yang singkat, dan untuk bertahan selama itu adalah sesuatu yang patut diacungi jempol. Ketika ditanya mengapa dia masih bertahan dan masih tetap semangat dalam tugasnya, pria kelahiran Jogja, 30 April 1955 ini, dengan medoq Jawanya yang kental menjawab, kuncinya adalah kesabaran dan tanggung jawab. Seringan apa pun pekerjaan kita, jika kita tidak sabar dan hanya mengeluh, maka pekerjaan itu justru akan terasa berat. Saya selalu berusaha menikmati pekerjaan saya. Menikmati pekerjaan merupakan proses pendewasaan. Jika saya lelah, saya istirahat. Jika sekarang pekerjaannya belum selesai…ya besok lagi…kalau belum juga…ya lusa. Tetapi tidak berarti bahwa saya tidak bertangung jawab. Saya hanya berusaha bekerja semampu saya, saya tidak akan memaksa diri, katanya dengan penuh keyakinan. Selain sabar, saya juga berusaha untuk tidak mengeluh. Mengeluh, toh tidak akan menyelesaikan pekerjaan. Dengan mengeluh, pekerjaan justru bertambah berat, lama-lama jadi stress. Dalam bekerja, pikiran harus santai tetapi kerjanya jangan santai..katanya sambil senyum. Bekerja memang berat, tetapi itulah risiko kerja, tambahnya.
Sebagai karyawan di Anging Mammiri, yang setiap hari membantu para frater membersihkan dan mencuci pakaian para romo, Mas Slamet selalu merasa senang. Dia merasa bahwa apa yang dilakukannya sekarang adalah salah satu bentuk partisipasinya dalam pendidikan calon imam. Karena itu dia sangat prihatin melihat semakin sedikitnya orang yang tertari menjadi imam, termasuk calon imam dari KAMS.

Fr. Cornelius Timang

Resensi Buku: Ikutlah Aku

Berani Menjawab Panggilan-Nya


Judul Buku : Ikutlah Aku
Judul Asli : Peter on the Shore:
Vocation in Scripture and Real Life
Penulis : Antony Bannon, LC
Penerjemah : Irene
Penerbit : Kanisius, 2009
Tebal : 279 halaman

Menentukan pilihan mengikuti Yesus untuk menjadi imam atau biarawan-biarawati tidak mudah. Para calon imam akan selalu diperhadapkan dengan berbagai tantangan. Tantangan itu terwujud dalam keraguannya menjawab panggilan Tuhan. Misalnya, apakah aku memang dipanggil oleh Tuhan? Bagaimana aku dapat mengatakan bahwa apa yang kurasakan bukanlah khayalan imajinasi dan perasaanku semata? Mampukah aku menjalani panggilanku? Bagaimana dengan keluargaku yang tidak mengizinkan aku? Aku masih terlalu muda atau terlalu tua? Tidakkah lebih baik jika aku menjadi seorang Kristen yang baik daripada menjadi imam yang buruk? Tanda apakah yang akan diberikan kepadaku untuk menjawab panggilan ini?
Pertanyaan sekitar keraguan akan panggilan ini dijawab dalam buku “Ikutlah Aku” karangan Anthony Bannon, LC. Buku ini dibagi dalam dua bagian besar. Bagian pertama mengisahkan beberapa panggilan tokoh-tokoh iman dalam Kitab Suci seperti Abraham, Musa, Yeremia, Yesaya, Yunus, dan para murid. Pengalaman panggilan mereka dapat menjadi inspirasi bagi orang-orang terpanggil untuk menegaskan panggilannya serta menyentil hati kaum muda untuk menjawab panggilan Tuhan. Bagian kedua menggambarkan kehidupan nyata manusia berhadapan dengan panggilan. Pada bagian ini penulis menunjukkan alasan-alasan yang sering dikemukakan untuk menolak panggilan-Nya. Tetapi uraian ini hanyalah penuntun atas jawaban Anda terhadap panggilan Tuhan.
Buku ini menjadi semakin menarik karena penulis melihat panggilan itu tidak hanya dari terang Kitab Suci saja, tetapi juga memberikan hasil permenungannya atas persoalan-persoalan panggilan dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, buku ini tidak hanya berupa rumusan teoritis semata tetapi juga memberikan langkah-langkah praktis dalam menanggapi panggilan Tuhan baik bagi religius maupun awam pada umumnya.
Dengan membaca buku ini, kita diajak untuk merenungkan kembali rahmat panggilan yang ditanamkan dalam hati kita. Rupanya panggilan Tuhan bukan suatu kejadian yang datang pada seseorang secara tiba-tiba dan kebetulan saja tetapi Tuhan telah merancangnya sebelumnya. Oleh karena itu, jangan takut mengikuti Dia bila Anda merasa dipanggil.

C. Timang

Opini: Menimbang Mutu TPA

Menimbang Mutu TPA

Menarik bahwa pada tahun ini Panitia Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNM-PTN) memperkenalkan Tes Potensi Akademik (TPA) untuk mengukur kemampuan calon mahasiswa baru. Menarik karena meski hanya mampu mengukur Intelegent Quotient (IQ), toh hasil TPA tetap dijadikan sebagai ukuran diterima-tidaknya calon mahasiswa pada suatu perguruan tinggi. Seakan IQ yang tinggi sudah menggambarkan kemampuan dan keberhasilan seseorang. Apakah memang hasil TPA mampu mewakili ekspresi kecerdasan seseorang? Bukankah banyak segi yang juga harus diukur untuk menilai kemampuan dan keberhasilan seseorang?
Memang pelaksanaan TPA tidak akan lepas dari masalah. Bisa saja seorang calon mahasiswa ber-IQ tinggi tetapi gagal tes karena tidak tahu bentuk soal TPA. Namun ada pula mahasiswa ber-IQ pas-pasan tetapi berhasil dalam tes karena ia sudah terbiasa dan terlatih dengan soal-soal TPA. Jika demikian berarti hasil TPA tidak dapat menjamin tingkat kecerdasan calon mahasiswa. Selain itu, keberhasilan seorang mahasiswa ternyata tidak hanya dipengaruhi oleh IQ yang tinggi. Faktanya, ada banyak mahasiswa yang IQ-nya rata-rata tetapi bisa menyelesaikan kuliahnya tepat pada waktunya dan justru berhasil di tengah masyarakat. Sementara ada mahasiswa yang IQ-nya tinggi namun menjadi MABA (mahasiswa abadi) dan menjadi “pengacau” dalam masyarakat.
Para psikolog modern seperti Goleman, Paul Stoltz, dan Howard Gardner mengatakan bahwa tes IQ tidaklah cukup untuk menilai potensi kecerdasan seseorang tetapi dibutuhkan juga tes EQ (Emotional Quotient), AQ (Adversity Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient). Yang dimaksud dengan EQ adalah kecerdasan emosi atau sadar diri. Seseorang yang EQ-nya tinggi adalah orang yang bisa menerima diri apa adanya dan bisa mengontrol emosi (baca: perasaan)-nya. EQ ini sangat penting dimiliki oleh semua orang khususnya para mahasiswa. Demonstrasi yang tidak bertanggungjawab atau perkelahian antar mahasiswa, merupakan salah satu indikasi kurangnya EQ.
Yang kedua adalah AQ yaitu kecerdasan yang diperlukan dalam menghadapi rintangan dan hambatan. Seorang mahasiswa dididik bukan hanya untuk mengetahui teori yang diperoleh melalui kuliah di kelas maupun perpustakaan. Yang lebih penting adalah bagaimana mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya itu dalam hidup sehari-hari, baik untuk dirinya maupun untuk masyarakat sekitar. Ketika terjun ke tengah masyarakat akan dijumpai begitu banyak masalah, seperti masalah politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. Berhadapan dengan masalah itu, para mahasiswa tidak boleh hanya menjadi penonton tetapi harus sekaligus sebagai pemain.
Dan yang ketiga adalah SQ yaitu kesadaran akan diri: siapakah saya, untuk apa saya hidup, dari mana saya berasal dan kemana saya akan pergi. Pertanyaan tentang arti hidup dan makna hidup semacam ini sudah semakin kurang disadari sekarang ini. Padahal jika kita refleksikan lebih dalam, sebenarnya kita semua berasal dari Sang Pencipta yang sama dan akan kembali kepadaNya. Jadi sebenarnya hidup manusia di dunia ini hanyalah sementara dan apa pun yang dimiliki tidaklah abadi. Karena itu seharusnya kita hidup secara wajar saja. Cukupkanlah diri kita dengan apa yang kita miliki. KKN, penindasan, penganiayaan, trafficking dan masalah pelanggaran HAM lainnya, inilah indikasi kurangnya SQ. Masalahnya sekarang adalah bahwa kesadaran akan SQ atau moral sudah kurang ditanamkan, apalagi di perguruan tinggi. Lihat saja, berapa banyak perguruan tinggi yang masih memasukkan mata kuliah Pendidikan Agama dalam program pembelajarannya?
TPA sebagai sebagai alat untuk menyeleksi para calon mahasiswa, sebenarnya sangatlah baik. Namun jika tes itu hanya mampu mengukur IQ calon mahasiswa semata tanpa menyentuh segi EQ, AQ dan SQ maka TPA sesungguhnya tidak memiliki makna yang berarti untuk mengukur kemampuan calon mahasiswa. Oleh karena itu TPA juga seharusnya dilengkapi dengan tes psikologis calon mahasiswa. Dengan tambahan tes psikologis ini diharapakan aspek IQ, EQ, AQ dan SQ dapat diukur dalam diri calon mahasiswa.
Cornelius Timang
Mahasiswa fakultas teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Berkerja adalah Proses Pendewasaan

BEKERJA ADALAH PROSES PENDEWASAAN
Hari masih pagi, matahari belum nampak di ufuk Timur. Samar-samar terdengar kicauan burung-burung. Jarum jam pada dinding tembok asrama masih menunjukkan pukul 06.30. Dari kejauhan muncullah sesosok tubuh tua, badannya agak kurus dengan sebuah tas tergantung pada bahu yang kini tak sekekar dulu. Sebuah topi usang menutupi kepalanya dengan rambut yang sudah putih. Tidak ketinggalan sepeda phonix buatan tahun 70-an dengan suara berisik yang selalu setia menemaninya. Usia boleh tua, tetapi semangat harus selalu muda. Demikianlah semboyan hidup yang juga menjadi motivasinya dalam bekerja. Itulah Mas Slamet.
Matius Slamet Hartono atau yang lebih akrab dipanggil Mas Slamet adalah karyawan senior yang telah mengabdikan lebih dari separuh hidupnya pada sebuah lembaga pendidikan calon imam yakni Seminarium Anging Mammiri, Yogyakarta. Tahun ini ia telah 31 tahun tinggal bersama para calon imam dari Keuskupan Agung Makassar (KAMS). Selama 31 tahun itu, pasti sudah banyak pengalaman yang dialaminya, entah yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Ketika ditanya lebih banyak suka atau duka yang dialami selama bekerja di Anging Mammiri, dengan tenang dan penuh kelembutan ia menjawab, suka dan duka dalam pekerjaan itu memang sudah seharusnya. Karena itu harus melakukan pekerjaan dengan senang hati.
31 tahun lalu, tepatnya bulan Mei tahun 1978, atas permintaan Rm. A. Denissen, CICM, Mas Slamet pun mulai bekerja di Anging Mammiri. Sebelumnya ia telah mengabdikan diri selama 7 tahun di Seminari Tinggi Kentungan. Saat itu pula para frater KAMS juga masih bergabung dengan para frater KAS (Keuskupan Agung Semarang). Namun karena jumlah calon imam KAMS semakin banyak dan asrama Seminari Tinggi Kentungan sudah tidak mampu menampung mereka, maka para frater KAMS pun membuat asrama sendiri yang letaknya hanya 400 meter sebelah utara Seminari Tinggi Kentungan.
Seminarium Anging Mammiri atau asrama untuk para calon imam praja KAMS, didirikan pada hari Pentakosta tahun 1978. Sejak saat itu sampai sekarang, Mas Slamet masih tetap setia bekerja di sana. Bahkan dengan senang hati akan memperpanjang masa kerjanya setelah pensiun pada tahun 2010 nanti jika ia masih dibutuhkan.
31 tahun bukanlah waktu yang singkat, dan untuk bertahan selama itu adalah sesuatu yang patut diacungi jempol. Ketika ditanya mengapa dia masih bertahan dan masih tetap semangat dalam tugasnya, pria kelahiran Jogja, 30 April 1955 ini, dengan medog Jawanya yang kental menjawab, kuncinya adalah kesabaran dan tanggung jawab. Seringan apa pun pekerjaan kita, jika kita tidak sabar dan hanya mengeluh, maka pekerjaan itu justru akan terasa berat. Saya selalu berusaha menikmati pekerjaan saya. Menikmati pekerjaan merupakan proses pendewasaan. Jika saya lelah, saya istirahat. Jika sekarang pekerjaannya belum selesai…ya besok lagi…kalau belum juga…ya lusa. Tetapi tidak berarti bahwa saya tidak bertangung jawab. Saya hanya berusaha bekerja semampu saya, saya tidak akan memaksa diri. Selain sabar, saya juga berusaha untuk tidak mengeluh. Mengeluh, toh tidak akan menyelesaikan pekerjaan. Dengan mengeluh, pekerjaan justru bertambah berat, lama-lama jadi stress. Dalam bekerja, pikiran harus santai tetapi kerjanya jangan santai..katanya sambil senyum. Bekerja memang berat, tetapi itulah risiko kerja, tambahnya.
Cita-Cita Jadi Guru
Waktu kecil sebenarnya ia ingin menjadi guru tetapi akhirnya tidak tercapai karena masalah biaya. Ketika ia bersekolah di SMP bapaknya meninggal dunia. Sejak saat itulah ia menjadi tulang punggung keluarganya karena hanya dia laki-laki di antara saudara-saudaranya. Ia tidak bisa lagi melanjutkan sekolahnya. Setelah tamat SMP ia langsung bekerja. Ia pun melamar kerja di Seminari Tinggi Kentungan, dan ia diterima. Ia pun memulai pekejaannya sebagai tukang bersih di asrama. Saat itu dia adalah karyawan paling muda diantara 35 karyawan yang ada. Setelah bekerja selama 7 tahun di Seminari Tinggi, akhirnya ia pindah ke Anging Mammiri.
Alasan kepindahannya ke Anging Mammiri adalah karena ia bisa mengurus ibunya yang saat itu sudah tua dan tidak ada yang mengurusnya. Jika ia tetap tinggal di Seminari Tinggi, ia tidak bisa tinggal di rumah sendiri, karena semua karyawan yang masih bujangan harus tinggal di asrama. Kendatipun saat itu dia hanya menerima gaji sebesar Rp. 7.500, tetapi ia sungguh merasa senang.
Walaupun cita-citanya sebagai guru tidak tercapai, tetapi semangat untuk belajar tetap ada dalam dirinya. Setiap waktu istirahat, ia selalu menyempatkan diri untuk membaca. Ia sangat rajin membaca buku bacaan apa saja. Tetapi buku bacaan favoritnya adalah buku perbintangan. Memang ia tidak menjadi guru secara formal di sekolah, tetapi kini ia menjadi guru bagi anak-anaknya dan juga bagi para frater. Ada banyak hal yang ia bisa ajarkan bagi para fratrer, misalnya tetang tanggung jawab, cinta lingkungan, kedewasaan, dan keramah-tamahan.
Saat ini memang panggilan untuk menjadi imam sangatlah menurun, apalagi untuk KAMS. Sekarang frater yang tinggal Anging Mammiri hanya berjumlah 15 orang. Menanggapi hal itu, Mas Slamet hanya berpesan bahwa baik menjadi imam maupun menjadi bapak keluarga, keduanya sulit. Jadi para frater janganlah melepas jubah hanya karena menyangka bahwa menjadi awam lebih mudah dibandingkan dengan menjadi imam. Tetapi juga menjadi imam memang tidak gampang. Karena itu kami akan selalu mendoakan kalian. Semoga kalian bisa menjadi imam yang baik dan semoga semakin banyak orang yang terpanggil untuk menjadi imam.
Kehadiran Mas Slamet sungguh menjadi teladan bagi kami. Semangat kerja keras, kesetiaan, kepedulian, tanggung jawab, dan keuletannya dalam bekerja menjadi panutan bagi kami para calon imam. Setia dalam setiap pekerjaan dapat menjadikan kita dewasa. Jangan pernah memandang jenis pekerjaannya, tetapi lakukanlah pekerjaan itu dengan setia.
Fr. Cornelius Timang
Penulis adalah seorang calon imam projo KAMS yang sedang kuliah di FTW semester IV