Selasa, 03 Agustus 2010

Musik Liturgi

Pengantar
Sebuah pepatah Latin mengatakan, bene cantat bis orat yang artinya bernyanyi dengan baik sama dengan dua kali berdoa. Ungkapan ini tidak berarti ingin mengesampingkan peran doa dalam hidup beriman kita. Sebenarnya ungkapan ini hanya ingin menekankan betapa pentingnya peran nyanyian itu dalam kehidupan kerohanian kita. Bernyanyi dengan baik merupakan salah satu cara untuk bisa sampai pada Tuhan.
Ungkapan di atas memang akan sangat subjektif dan akan sangat berbeda seorang dengan orang lain. Mungkin ada orang yang akan lebih senang berdoa daripada bernyanyi, karena mungkin suaranya yang kurang mendukung. Ada juga karena memang orang tersebut adalah orang yang lebih meditatif, karena itu ia lebih memilih untuk berdiam diri di hadapan Tuhan. Tetapi memang ada juga orang yang akan sangat terbantu dengan bernyanyi ataupun mendengarkan lagu-lagu instrumen.
Memang antara kedua hal itu sulit untuk didamaikan, apakah bene cantat bis orat atau bene orat bis cantat. Tidak masalah kita akan setuju dengan alasan pertama atau pun alasan kedua. Namun dalam makalah ini, pemakalah akan lebih membahas ungkapan yang pertama ini. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Namun sebelum masuk pada isi makalah, ada baiknya jika istilah nyanyian ini diklralifikasi terlebih dahulu. Istilah nyanyian yang dimaksud oleh penulis, bukan hanya benyanyi, mengeluarkan suara, tetapi juga pihak-pihak yang terkait dalam terwujudnya nyanyian itu yakni pemusik dan dirigen. Juga harus diketahui bahwa nyanyian yang dimaksud adalah nyanyian liturgi bukan nyanyian rohani, pop ataupun jenis musik yang lainnya. Istilah yang akan sering digunakan oleh penulis Musik Liturgi.

Pegertian Musik Liturgi
Istilah musik liturgi sebenarnya terdiri atas dua kata pokok yakni musik dan liturgi. Istilah “musik” berasal dari kata Yunani mousike. Kata mousike diambil dari nama dewa mitologi Yunani kuno, Mousa. Dewa Mousa adalah seorang dewa yang memimpin seni dan ilmu. Meskipun asal kata “musik” berasal dari bahasa Yunani, namun istilah musik dalam bahasa Indonesia tidak langsung diambil dari kata Yunani itu, melainkan dari kata Belanda: muziek. Musik adalah sebuah cetusan ekspresi perasaan atau pikiran yang dikeluarkan secara teratur dalam bentuk bunyi . Sedangkan kata “liturgi” berasal dari bahasa Yunani, leitourgia yang berarti ‘kerja’ atau ‘pelayanan yang dibaktikan bagi kepentingan bangsa’. Dalam perkembangan selanjutnya istilah Liturgi dipahami sebagai upacara atau ibadat publik Gereja. Namun jika bertolak dari KV II, istilah Liturgi dapat dirumuskan sebagai perayaan misteri karya keselamatan Allah dalam Kristus, yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus, Sang Imam Agung, bersama GerejaNya di dalam ikatan Roh Kudus . Pada dasarnya yang dimaksud dengan musik liturgi adalah segala jenis musik yang diciptakan dan diperuntukkan bagi kegiatan berliturgi . Musik liturgi mencakup kelompok koor, dirigen, pemusik, dan nyanyian.
Perlu diketahui bahwa musik liturgi tidak sama dengan musik rohani . Musik rohani merupakan musik yang diciptakan untuk kegiatan-kegiatan keagamaan, misalnya sebagai lagu hiburan rohani dan dipakai di luar ibadat atau perayaan-perayaan liturgis. Misalnya dinyanyikan saat pendalaman Kitab Suci, ziarah, doa bersama, kemping rohani, rekoleksi, pertemuan mudika, pentas di panggung dan lain-lain.

Peranan Musik dalam Liturgi
Pada hakikatnya manusia tidak bisa terlepas dari musik. Musik dapat dikatakan sebagai bagian dari hidup manusia. Musik dapat menjadi hiburan, selingan, pengiring, juga sebagai ekspresi jiwa dan pemberi daya kekuatan dan jiwa kehidupan. Di mana-mana kita dapat menjumpai musik, misalnya di rumah, kantor, mobil, cafe, mall, asrama, juga di Gereja. Jenis musiknya pun berbeda-beda, ada klasik, pop, jazz, rock, dangdut, dan juga musik-musik tradisional. Jika dilihat dari sejarahnya pun kita dapat mengetahui bahwa musik sebenarnya sudah ada sejak zaman purba. Memang pada saat itu masih dalam bentuk sederhana yakni dengan anggota tubuh, misalnya mulut, hentakan kaki, tepuk tangan dan lain-lain. Dari kenyataan ini, dapat disimpulkan bahwa peran musik itu sangat penting bagi hidup manusia.
Gereja sebagai bagian dari masyarakat luas juga sudah sejak semula tidak pernah melepaskan diri dari musik. Hal itu sangat jelas termuat dalam KV II, khususnya pada bagian SC (Sacrosanctum Concilium). Dalam SC itu dikatakan bahwa musik merupakan bagian dari liturgi itu sendiri yang penting dan integral . Jadi musik itu bukan hanya sekedar pelengkap atau sebagai tambahan saja. Musik bukan sekedar baju atau pakaian luar, tetapi termasuk bagian dari badan atau tubuh itu sendiri .
Betapa pentingnya peran musik dalam liturgi, maka sebaiknya para petugas liturgi menyadari hal ini. Mereka seharusnya sadar bahwa tugas mereka sebenarnya sangatlah luhur, yakni untuk menghantar umat untuk dapat bertemu dan memuliakan serta menguduskan nama Tuhan. Tugas ini sebenarnya tidak bisa dipandang enteng. Oleh karena itu para petugas seharusnya jauh hari sebelumnya telah mempersiapkan diri.
Namun dalam prakteknya, kadang-kadang muncul beberapa kendala. Misalnya semakin berkurangnya orang yang bersedia untuk menjadi petugas liturgi sehingga para petugas hanya berpusat pada orang-orang tertentu saja. Kendala lain adalah banyak orang yang memandang enteng tugas ini, karena itu mereka tidak mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Karena kurang persiapan, maka lagu-lagu yang dipilih hanya itu-itu saja. Tetapi juga ada yang menggunakan lagu baru, tetapi karena kurang dipersiapkan dengan baik, maka tidak dapat dibawakan dengan baik oleh dirigen, umat, maupun organis. Masalah-masalah semacam ini seharusnya tidak akan muncul jika kita kembali pada hakikat dan peran musik liturgi itu sendiri.

Beberapa Catatan untuk Petuga Liturgi
 Dirigen
Dirigen adalah seorang pemimpin nyanyian. Ia bertangung jawab terhadap koor atau paduan suara juga kadang-kadang memimpin nyanyian umat. Oleh karena itu, dirigen yang baik adalah dirigen yang menguasai musik, tempo, dan nyanyian yang dibawakannya, bahkan bila perlu ia harus menghafalnya. Dalam penampilannya sebaiknya ia jangan berlebihan, sehingga tidak memalingkan konsentrasi umat. Sebelum memulai sebuah perayaan, baik perayaan sabda maupun Ekaristi, sebaiknya dirigen mengkomunikasikan lagu yang akan dibawakannya dengan pemimpin ibadat dan para petugas lainnya, yakni pemusik dan pemazmur.
 Pemusik
Pemusik adalah orang yang mengiringi nyanyian, entah koor atau nyanyian umat dengan alat musik tertentu. Alat musik yang paling umum dalam liturgi adalah organ. Hal yang harus selalu diingat oleh pemusik adalah bahwa tugasnya yang utama adalah membantu umat untuk bisa sampai pada Tuhan. Karena itu seharusnya jauh hari sebelumnya ia sudah menyiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Selain untuk mengiringi nyanyian, seorang organis juga harus peka melihat saat-saat kosong dalam sebuah perayaan dan mengisinya dengan memainkan musik-musik yang dapat membantu penghayatan umat. Misalnya pada waktu menjelang ibadat dimulai (tetapi ingat, saat ini bukan berarti waktu latihan), saat persiapan persembahan, waktu komuni ketika tidak ada nyanyian komuni, bisa juga saat hening setelah komuni, dan akhirnya mengiringi umat keluar meninggalkan gereja.
Hal-hal teknis juga hendaknya diperhatikan oleh pemusik. Misalnya untuk alat musik organ, seorang organis tidak boleh mengabaikan register, volume, tempo, nada dasar, intro dan coda, serta komunikasi dengan dirigen dan memimpin ibadat. Juga yang paling penting adalah kesiapan mental. Mengingat bahwa tugas para petugas liturgi sangatlah penting maka hal-hal teknis semacam ini jangan pernah diabaikan.
 Nyanyian / Lagu
Dalam sebuah ibadat sangat penting juga diperhatikan tentang pemilihan lagu yang tepat. Yang dimaksud adalah lagu yang sesuai dengan tema perayaan yang sedang berlangsung. Pemilihan lagu ini biasanya merupakan tugas dirigen. Untuk memudahkan para dirigen, Tim PML melalui majalah Warta Musik telah menyediakan usulan-usulan lagu yang dianggap cocok dalam sebuah perayaan. Pemilihan lagu itu juga dapat dilakukan sendiri. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam memilih lagu liturgi adalah :
 Bacalah bacaan Injil, bacaan pertama, bacaan kedua dan mazmur tanggapan secara berulang-ulang dan renungkanlah intinya.
 Pilihlah lagu pembuka, persiapan persembahan, madah syukur, dan lagu penutup sesuai dengan isi Injil, bacaan pertama, bacaan kedua dan mazmur tanggapan. Kalau sulit menemukan empat nyanyian yang sesuai, maka sekurang-kurannya pilihlah lagu pembuka dan penutup yang sesuai dengan bacaan. Ingat, pemilihan lagu janganlah terikat pada pengelompokan dalam Madah Bakti, Puji Syukur atau buku lagu yang lain.
 Dalam masa-masa khusus (misalnya Prapaskah, Paskah, dan lain-lain), lagu boleh diambil dari lagu umum atau masa biasa asal syairnya sesuai dengan bacaan yang digunakan.
 Kalau bukan perayaan ekaristi, atau ibadat untuk menghormati Maria, lagu Maria sebaiknya jangan digunakan, karena tema lagu harus senantiasa sesuai dengan tema ibadat yand sedang berlangsung.
 Dalam memilih lagu untuk perayaan ekaristi, sebaiknya diperhatikan juga antifon-antifon yang digunakan dalam buku Misale (antifon pembuka dan komuni).
 Setelah memilih lagu yang sesuai, hendaknya lagu-lagu itu ditulis dan dikomunikasikan atau dikonsultasikan dengan imam yang akan memimpin ekaristi dan jauh hari sebelumnya, supaya jika ada perubahan, masih sempat dilatih.
Dari semua itu, hal yang haru diperhatikan oleh semua petugas liturg adalah komunikasi. Banyak kekacauan terjadi dalam sebuah perayaan liturgi disebabkan karena adanya miskomunikasi. Oleh karena itu komunikasi sangatlah penting. Juga tidak boleh dilupakan adalah persiapan. Janganlah pernah memandang remeh tugas para petugas liturgi. Persipkanlah diri sebelum melaksanakan tugas.
Penutup
Penghayatan terhadap sebuah perayaan akan sangat banyak dipengaruhi oleh para petugasnya. Petugas liturgi yang menjalankan tugasnya dengan baik akan sangat membantu umat dalam sebuah perayaan. Demikian juga sebaliknya, mereka menjalankan tugasnya dengan asal-asalan, akan sangat mengganggu bahkan meghalangi umat dalam beribadat. Bertolak dari tugas utama petugas liturgi yakni untuk menghantar umat dalam misteri karya keselamatan Allah, maka hendaknya para petugas liturgi melaksanakan tugasnya ini dengan sebaik-baiknya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak orang yang memandang remeh tugas ini. Karena itu tidak melakukan persiapan, atau bahkan tidak ingin menjadi pelayan liturgi. Pemahaman ini sungguh tidak benar. Petugas litrugi mempunyai tugas yang sangat penting dalam sebuah perayaan.
Akhirnya pada bagian penutup ini penulis mengajak kita semua untuk mengamati keadaan para petugas liturgi kita saat ini. Apakah mereka sudah sunggu menjalankan tugasnya dengan baik dan telah menghantar umat untuk bisa merayakan karya keselamatan Allah melalui sebuah perayaan? Juga amatilah apa yang menjadi kendala para petugas liturgi dewasa ini? Dan setelah itu, kira-kira apa langkah konkrit yang dapat dilakukan? Selamat berdiskusi, semoga makalah singkat ini dapat membantu kita semua.

Daftar Pustaka
Dokumen Konsili Vatikan II.
Iwan M.,
1997, “Musik”, Ensiklopedi Musik, II (M-Z), Delta Pamungkas, Jakarta.
Majalah Warta Musik
Martasujidta, E.,
1999, Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi, Kanisius, Yoyakarta.
Martasujidta, E. –Kristanto, J.,
2007, Paduan Memilih Nyanyian Liturgi, Kanisius, Yogyakrta.
Prier, Karl-Edmund.,
1998, Musik Liturgi Zaman Sekarang, PML, Yogyakarta.

Dialog Agama menurut Panikkar

Pengantar
Beberapa bulan yang lalu ditemukan sebuah tulisan yang dipasang persis di depan gereja Katolik Kota Baru, Yogyakarta, bunyinya: “Jangan men-Tuhan-kan Yesus, kalau tidak mau PERANG”. Kalimat ini tentu saja sangat provokatif dan bisa menyulut amarah bagi orang Kristen khususnya umat Katolik dan terlebih umat Katolik Kota Baru. Syukurlah bahwa tulisan itu segera dikeluarkan sehingga tidak menjadi buah bibir di tengah umat dan akhirnya menimbulkan masalah yang lebih parah. Saya yakin jika tulisan ini dibiarkan tepampang di sana lebih lama, maka pasti akan menimbulkan dampak negatif.
Terlepas dari siapa yang memasang tulisan itu dan siapa yang harus bertanggung jawab atasnya, kita dapat mereka-reka bahwa pasti ada kepentingan atau paling tidak maksud pemasangan tulisan itu. Jika menyimak dari kata-katanya, tulisan ini sebenarnya ingin mengafirmasi keyakinannya sendiri dan men-judge keyakinan orang lain. Dan yang lebih parah adalah bahwa ingin perang terhadap orang (Kristen) jika masih tetap mengakui Yesus sebagai Tuhan. Secara eksplisit ingin mengatakan bahwa agamanyalah yang paling benar, sementara agama orang lain tidak benar.
Berbicara mengenai kebenaran suatu agama, sebenarnya sangat sulit untuk mengatakan bahwa suatu agama lebih benar dari agama yang lain. Apalagi jika mengukur kebenaran suatu agama bertolak dari pemahaman saya terhadap agama saya kemudian menerapkannya pada agama lain. Hal semacam inilah yang sekiranya menjadi sumber konflik antar umat beragama dewasa ini. Nah, bagaimana usaha untuk mengatasi atau paling tidak meredam konflik antar umat beragama itu? Salah satu usaha yang dilakukan selama ini adalah melalui dialog antar agama. Dalam sepanjang sejarah dialog agama, sudah ada banyak tokoh yang pernah tampil dengan gagasan-gagasan dan aksi serta karyanya di bidang dialog agama. Salah satu di antaranya adalah Raimundo Panikkar.
Pemilihan tokoh Raimundo Panikkar sebagai tokoh dialog antar agama, tentu memiliki alasan. Bagi penulis, Panikkar adalah tokoh dialog agama yang unik dan khas. Keunikan dan kekhasannya dapat dilihat dari riwayat hidupnya dan dari pemikiran-pemikirannya. Mengenai pemikiran-pemikiran Panikkar tentang dialog agama, memang banyak. Tetapi dalam paper ini akan dibahas secara khusus pemikiran Panikkar tentang kebenaran suatu agama dalam hubungannya dengan dialog antar agama. Namun sebelum mendalami pemikiran Panikkar, ada baiknya jika dipaparkan sedikit tentang riwayat hidupnya.

Biografi
Raimundo Panikkar lahir di Barcelona, Spanyol, pada tahun 1918. Ibunya berkebangsaan Spanyol dan beragama Katolik, sementara ayahnya seorang yang berkebangsaan India dan beragama Hindu. Sejak kecil dia telah dididik dalam tradisi Katolik yang ortodoks, namun pengaruh budaya ayahnya Hindu-India juga ada dalam dirinya. Dari ayahnya dia belajar mengenai kultur dan religi Hindu-India. Proses belajarnya kemudian dikembangkan dengan mempelajari kultur Sanskerta Klasik di bawah bimbingan seorang guru Sanskerta asal Spanyol yang bernama Juan Mascaro.
Panikkar ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1946. Lalu dia ditugaskan di Diosis Varanasi, India. Di sinilah pertemuan dan kontaknya dengan budaya dan religi India. Dia meraih tiga kali gelar doktoral, yang pertama tahun 1946 dalam bidang filsafat berkaitan dengan konsep alam (ekologi) dan gelar doktoralnya yang kedua diraihnya pada tahun 1958 dalam bidang kimia dengan sebuah tesis mengenai Filsafat Ilmu Pengetahuan dengan judul “Ontonomy Science and its Relation to Philosophy”. Dan gelar doktoralnya yang terakhir diraihnya dalam bidang Study Agama-Agama (terutama Hindu-India) pada tahun 1961. Dari ketiga gelar doktoralnya itu dapatlah kita menarik suatu kesimpulan bahwa Pannikar adalah seorang yang haus akan pengetahuan, dan bahkan lebih dari itu dia berusaha mendalami dengan sungguh-sungguh bidang filsafat, sains dan teologi . Ketiga bidang ilmu yang didalaminya ini tentu saja akan sangat berpengaruh pada cara berpikir dan gagasan-gagasannya. Selain itu, faktor budaya (India dan Spanyol) kedua orang tuanya serta lingkungan di mana dia tinggal tentu saja turut membentuk pola pikirnya.
Selama hidupnya Panikkar telah menghasilkan karya-karya besar dan terkenal terutama dalam bidang studi perbandingan agama-agama. Karya-karyanya tersebut adalah The Unknown Christ of Hinduism (1961-1964), The Silence of God: Answer of The Budha (1970), The Trinity and The Religious Experience of Man (1973), The Intra Religious Dialogue (1978).
Melihat sekilas tentang riwayat hidupnya, ada beberapa hal yang menarik dari Panikkar, yaitu latar belakang keluarganya yang sangat pluralis. Hal lain yang menarik adalah bahwa Panikkar adalah salah satu tokoh dialog agama besar yang berasal dari Asia. Dan yang paling menarik dari Panikkar adalah jawaban yang diberikannya ketika dia ditanya, bagaimana dia menjalani hidupnya berhadapan pluralitas agama. Dengan enteng dia menjawab I “left” as a Christian, I “found” myself a Hindu, and I “return” a Buddhist, without having ceased to be a Christian . Hal ini menarik, karena Panikkar adalah seorang pemikir yang memberikan pemikirannya tidak berdasarkan teori semata, tetapi justru berasal dari pengalaman pribadinya. Dan lebih dari itu, dia mengatakan bahwa bergaul atau berhubungan dengan orang yang beragama lain tidak harus menanggalkan iman dan membuat iman kita luntur, tidak harus mengadili orang lain dan tidak harus memaksa orang lain untuk mengikuti apa yang saya yakini.
Tetapi, karena pemikiran Panikkar selalu berangkat dari pengalamannya, maka dia tidak pernah berbicara tentang dialog dengan Islam secara implisit. Dia lebih banyak berbicara tentang Hindu-Budha dan Kristen karena dia berada di lingkungan itu. Kendatipun demikian tentu saja tidak bisa dikatakan bahwa pemikirannya sama sekali tidak relevan dalam dialog dengan Islam. Justru pokok-pokok pemikirannya tentang dialog itu dapat diterapkan dalam dialog dengan siapa pun dan agama manapun.

Teori Kebenaran
Sebenarnya ada banyak pemikiran Panikkar yang relevan dengan dialog agama, tetapi yang akan dibahas dalam paper ini adalah pemikirannya tentang kebenaran. Menurut penulis pembicaraan mengenai kebenaran ini adalah suatu dasar yang sangat penting dalam pembicaraan tentang pluralisme, yang tidak jarang telah menimbulkan gep dan masalah di antara budaya dan agama. Lihatlah konflik yang terjadi di Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Misalnya yang terjadi di Jawa Timur, Jawa Barat, NTB, Maluku dan Poso. Memang seakan-akan kita terlalu menyederhanakan masalah jika kita langsung mengatakan bahwa konflik yang terjadi itu semuanya didasari oleh permasalahan tentang kebenaran agama. Tetapi jika kita jujur menilainya, memang kita akhirnya akan tiba pada kesimpulan bahwa konflik antar pemeluk agama itu disebabkan karena masing-masing pemeluk agama terlalu berpegang pada kebenaran agamanya. Masing-masing merasa bahwa apa yang diyakininya itulah yang paling benar sementara yang diyakini orang lain tidak benar. Karena merasa bahwa orang lain salah maka ia berusaha untuk mempertobatkan orang yang salah itu dan ingin menghantarnya pada kebenaran. Tetapi yang menjadi masalah adalah karena cara “mempertobatkan” orang lain itu bahkan sampai pada cara kekerasan. Juga yang menjadi masalah adalah karena orang lain juga ternyata sudah memiliki kebenaran yang diyakininya sendiri dalam bentuk iman dan kepercayaannya pada salah satu agama. Siapakah dia sehingga dia berhak mengadili orang lain sebagai benar atau salah? Dan apakah dia pantas disebut sebagai orang yang benar? Padahal, cuma Tuhanlah yang berhak menentukan dan memiliki kebenaran mutlak. Jika demikian, bukankah secara teologis, klaim kemutlakan atas nama agama itu merupakan ‘kudeta’ atas kemutlakan Tuhan?
Sebelum melangkah terlalu jauh, terlebih dahulu marilah kita menyamakan pemahaman kita tentang pengertian kebenaran itu. Dalam pengertian sehari-hari, kita mengartikan kebenaran sebagai kesesuaian antara apa yang dipikirkan dengan kenyataan atau apa yang sesungguhnya terjadi . Jadi ada kesesuaian antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan. Dalam konteks beragama yang disebut sebagai orang benar adalah orang yang beriman dan berperilaku baik. Wilfred Cantwell Smith, pernah mengatakan: Truth and falsity are often felt in modern times to be properties or functions of statements or propositions; whereas the present proposal is that much is to be gained by seeing them rather, or anyway by seeing them also, and primarily, as properties or functions of persons . Maka itu sebenarnya tidak dapat dipisahkan antara kebenaran dan moralitas. Jika kembali pada permasalahan orang yang menganggap orang lain salah lalu melakukan aksi kekerasan untuk memaksa orang lain mengikuti kebenaran yang diikutinya, maka dapatkah dikatakan bahwa orang tersebut benar sementara tindakannya tidak sesuai dengan moralitas?

Kebenaran Menurut Panikkar
Menurut Pannikar, kebenaran itu bukanlah monopoli suatu tradisi religius tertentu. Karena setiap agama dikenal melalui konteks keagamaannya sendiri dan memiliki kekhasannya sendiri, di mana yang lainnya sebagai yang lain tidak dapat dipersamakan atau diperbedakan . Konflik akhirnya terjadi ketika seseorang mulai menilai seorang beragama lain dari kacamata kebenarannya sendiri. Orang semacam inilah yang kemudian dimasukkan Panikkar dalam golongan orang yang menganut paham eksklusivisme. Dan menurutnya masalah eksklusivisme inilah yang menjadi persoalan mendasar yang dapat menjadi penghambat hubungan antaragama. Now, the claim to truth has a certain built-in claim to exclusivity. If given statement is true, its contradictory cannot also be true. And if a certain human tradition claims to offer a universal context for truth, anything contrary to that “universal truth” will have to be declared false .
Untuk menjelaskan mengenai kebenaran ini, Panikkar mencoba memulainya dari pemahamannya tentang konsep pewahyuan dalam agama Kristen dan dalam agama lain. Selain dalam agama Kristen, ternyata dalam agama lain, dia juga menemukan adanya kebenaran tentang pewahyuan itu. Padahal menurut doktrin Kristen dikatakan bahwa Allah dipahami sebagai Allah Yang Absolut. In the Christian tradition this Absolute has a definite designation: “The Father of our Lord Jesus Christ” . Panikkar mengakui bahwa di sinilah letak sikap eksklusif yang dibangun oleh orang Kristen. Setelah mengadakan perjumpaan dengan agama lain, ternyata Panikkar juga menemukan adanya kebenaran di mana kebenaran itu dipegang dan diyakini oleh mereka. Misalnya dalam agama Hindu dikenal adanya konsep noneksistensi Allah yang dikenal dengan sebutan Brahman sebagai ketiadaan murni. Sementara dalam agama Budha realitas Ilahi dikenal dan dipahami dengan sebutan “Ketiadaan dan Kekosongan”. Ketiadaanya Allah diakui sebagai suatu kebenaran dan dan bahkan ini merupakan rumusan iman yang objektif dan eksplisit bagi mereka. Dalam agama Islam memang Panikkar tidak mengatakannya secara langsung, tetapi kita juga dapat menemukan kebenaran yang berkaitan dengan iman dalam agama Islam. Mereka menyebutnya sebagai Allahu Akbar, Allah Mahabesar, Allah Yang Esa.
Dari beberapa pemahaman di atas tentang kebenaran, kita dapat melihat bahwa memang benar ada juga kebenaran dalam agama lain. Manakah di antara semua kebenaran itu yang paling benar? Bagi agama Islam kebenaran yang paling benar atau kebenaran absolut adalah bahwa Allah itu Esa, tiada Tuhan selain Allah. Atau bagi agama Hindu, Yang Ilahi itu diyakini sebagai Brahman atau ketiadaan murni. Penganut agama Kristen tidak boleh mengatakan bahwa pemahaman mereka itu salah. Yang benar adalah sebagaimana yang terungkap dalam trinitas, Bapa, Putra dan Roh Kudus. Masing-masing agama tidak boleh melihat kebenaran dalam agama lain dengan menggunakan kacamata kebenarannya sendiri.
Dalam bukunya yang berjudul The Unknown Christ of Hindusm, Panikkar mengatakan bahwa kebenaran agama itu tidak bersifat singular, tetapi partikular karena bisa terdapat di dalam lebih dari satu agama dan penyingkapan kebenaran tersebut bisa menjadi insight timbal-balik bagi semua pihak. In these times of growth in which no people or civilization can shut itself off from the rest of the world . Dari hal tersebut, sebenarnya Panikkar tidaklah bermaksud mengecilkan arti kebenaran itu. Yang ingin dikatakan sebenarnya adalah bahwa pengalaman-pengalaman partikular mengenai kebenaran dapat diperluas dan diperdalam sehingga bisa menyingkapkan berbagai pengalaman baru mengenai kebenaran, terutama menyangkut persoalan kebenaran Ilahi . Hal senada juga pernah dikatakan John Hick other religions are equally valid ways to the same truth. Jadi tidak hanya ada satu kebenaran yang absolut dan universal, tetapi ada banyak kebenaran . Panikkar percaya bahwa agama-agama lain juga mempunyai kebenaran sebagian dan sebagai pendahuluan serta ikut dalam kebenaran yang universal, mereka disebut sebagai “Anonymous Christian.” Ia percaya seorang dari agama Budha, Hindu, Islam adalah orang Kristen, walaupun mereka belum sempat datang secara aktual ke dalam Kekristenan, namun mereka tetap akan diselamatkan karena kebenaran Kristen ada di dalam agama-agama mereka. Panikkar percaya bahwa penyataan Allah ada di dalam semua agama dan Yesus Kristus hanyalah salah satu penyataan Allah yang juga ada di dalam agama-agama lain, di mana menyadari ada realitas ilahi. Oleh karena itu bagi Panikkar Yesus bukan Tuhan dan Juruselamat yang Final dan satu-satunya

Aturan Main dalam Perjumpaan Agama
Berhadapan degan pluralitas iman dan kebenaran-kebenaran partikular dalam berbagai agama, hal yang tidak dapat dipungkiri adalah adanya perjumpaan antar agama. Dan dalam perjumpaan itu tentu saja akan terjadi kontak dan relasi. Nah, agar dalam relasi tersebut tidak terjadi bentrok dan konflik maka dibutuhkanlah saling pengertian antara kedua belah pihak. Sikap saling pengertian itulah yang biasa disebut dialog. Seperti yang dikatakan Panikkar bahwa tujuan dialog adalah untuk membongkar pra-pemahaman atau a priori kita pada orang lain. Hence dialogue serves the useful purpose of laying bare our own assumptions and those of others, thereby giving us a more critically grounded conviction of what we hold to be true . Lebih lanjut dia mengatakan bahwa dialog bukanlah sekedar metodologi tetapi suatu bagian esensial tindakan religius “Par Excellence”: mencintai Allah melampaui segala hal dan mencintai sesama seperti diri sendiri. Dengan kata lain, dialog tidaklah pertama-tama berarti studi, kosultasi, pemeriksaan, pengajaran, pernyatan belajar, dan sebagainya. Dialog lebih pada mendegarkan dan mengobservasi; berbicara, megoreksi dan dikoreksi, di mana tujuannya adalah saling pengertian. Dalam dialog hubungan antaragama bukanlah hubungan “asimilasi”, atau hubungan substitusi melainkan hubungan “saling menyuburkan” .
Oleh karena itu untuk mencapai dialog yang sesungguhnya, Panikkar telah memberikan beberapa aturan main dalam berdialog, yaitu :
a. Harus bebas dari apologi khusus, artinya untuk berdialog, para peserta harus terbebas dari gagasan a priori.
b. Harus bebas dari apologi umum yaitu pertobatan. Dialog tujuannya bukanlah untuk menobatkan orang lain tetapi dialog memang adalah suatu kebutuhan yang harus dilakukan berhadapan dengan pluralitas iman.
c. Berani menghadapi tantangan pertobatan. Artinya dalam dialog, seorang harus berani mengambil risiko: kehilangan hidupnya atau dilahirkan kembali. Panikkar menganalogikannya dengan peziarah yang membuat jalannya sendiri yang belum terpetakan. Jalan yang di depannya masih perawan, belum dijamah. Peziarah itu pasti akan sangat senang karena melihat dua hal: indahnya penemuan pribadinya dan dalamnya harta abadi yang diperolehnya tetapi sekaligus dia harus berani menghadapi setiap kemungkinan yang akan dialaminya.
d. Dimensi historis penting tetapi tidak mencukupi. Dialog sebaiknya tidak berhenti hanya pada perjumpaan para ahli, tetapi dialog harus hidup, dan harus menjadi medan untuk pemikiran kreatif dan jalan-jalan baru yang imajinatif, yang tidak memutuskan hubungan dengan masa lampau melainkan meneruskan dan mengembangkannya.
e. Bukan sekedar kongres filsafat. Dialog bukanlah sekedar pertemuan para filsuf untuk membicarakan masalah-masalah intelektual mengenai agama.
f. Bukan sekedar symposium teologis. Dialog bukanlah sekedar usaha untuk membuat orang lain mengerti maksud saya.
g. Bukan sekedar ambisi pemuka agama. Dialog tidak hanya keinginan pemuka agama semata, tetapi harus sampai pada penganut-penganutnya.
h. Perjumpaan agama dalam iman, harapan dan kasih. Sikap iman yang dimaksudkan adalah melampaui data sederhana dan juga perumusan dogmatis dari pengakuan yang berbeda-beda. Dengan harapan diharapkan agar sikap dialog melampaui segala harapan, dapat melompati tidak hanya hambatan awal kemanusiaan, kelemahan dan keterikatan-keterikatan yang tidak disadari tetapi juga melompati segala bentuk pandangan yang semata-mata duniawi, dan memasuki jantung dialog, seolah-olah didesak dari atas untuk menjalankan tugas yang suci. Dengan cinta yang dimaksudkan adalah gerak hati, kekuatan yang mendorong untuk sampai pada sesama dan yang membimbing untuk menemukan di dalam mereka apa yang kurang dalam diri kita.

Realitas Indonesia
Keanekaragaman adalah sesuatu yang tidak bisa disangkal di dunia ini. Ada keragaman suku, agama, ras, bangsa, profesi, budaya dan golongan. Keanekaragaman itu di satu sisi bisa menjadi suatu kekayaan yang patut disyukuri, tetapi di sisi lain bisa juga menjadi sumber konflik, misalnya di Indonesia. Data menunjukkan bahwa di Indonesia, konflik yang bernuansa agama sangat sering kita jumpai. Misalnya kasus pembakaran gereja di Halmahera pada 14-15 Agustus 2002, konflik Poso pada Desember 2003, penyerangan terhadap Huriah Kristen Batak Protestan (HKPB) dan penyerangan terhadap rumah-rumah pengikut Ahmadiyah di Lombok pada September 2002 .
Selain itu hal yang memprihatinkan adalah adanya fakta yang memperlihatkan bahwa semakin meningkatnya jumlah penghancuran rumah ibadat khususnya gereja. Selama masa pemerintahan Soekarno yang berlangsung 21 tahun, hanya ada 2 gereja yang dirusak (atau rata-rata 0,008 buah perbulan). Selama masa pemerintah Soeharto yang berlangsung 32 tahun, ada 456 gereja yang dirusak (atau setiap bulannya ada 1,2 gereja). Selama masa pemerintah Habibie yang berlangsung 17 bulan, ada 156 gereja yang dirusak (atau setiap bulannya ada 9,2 gereja). Selama pemerintah Presiden Gus Dur yang berlangsung 21 bulan, ada 232 gereja yang dirusak (atau rata-rata perbulan 11 gereja). Masa Pemerintah Megawati selama 4 bulan pertama pemerintahannya, ada 12 gereja yang dirusak (rata-rata 3 gereja perbulan). Sedangkan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat sejumlah kasus penghancuran gereja di Tangerang, Bekasi dan sejumlah daerah di Jawa barat, Kalimantan dan Batam (Zuhairi Misrawi, 2007) .
Fakta di atas sungguh sangat memprihatinkan dan sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin hal semacam itu bisa terjadi, sementara setiap agama telah mengajarkan kebaikan dan kebenaran kepada para pengikutnya. Dan lebih-lebih tidak masuk akal karena Undang-undang Dasar kita telah menjamin kebebasan memeluk dan melaksanakan ajaran agama bagi seluruh rakyat Indonesia. Mengapa masih ada konflik antar agama? Oleh karena itu menjadi pertanyaan besar bagi kita, sebenarnya letak permasalahnya di mana? Apakah agama tidak mampu memberikan penyadaran dan mengajarkan kebenaran yang sesungguhnya kepada para penganutnya? Ataukah hukum negara kita yang terlalu lemah seperti singa ompong yang kehilangan gigi?
Memang akhirnya mengatakan bahwa agama sebagai sumber kekerasan atau sumber konflik agaknya merupakan sebuah paradoks, karena pesan inti agama adalah perdamaian. Tapi, menolak keterkaitan itu sama sekali juga merupakan perbuatan naif, karena kita jelas-jelas melihat banyaknya fenomena pembunuhan, terorisme, dan perusakan yang mengatasnamakan agama .
Marilah kita melihat dengan cermat konflik-konflik di atas. Apakah dapat kita katakan bahwa para pelaku kekerasan itulah yang sepenuhnya disalahkan? Bagi penulis sendiri tidak yakin bahwa kesalahan sepenuhnya berada di pihak mereka. Karena jika kita melihat dalam ajaran agama suatu agama, ternyata suatu agama tidak pernah akan terlepas dari suatu ajaran atau doktrin yang memiliki arti yang bisa dikatakan terlalu dalam sehingga tidak semua orang bisa mengertinya dengan tepat. Misalnya ajaran ekstra ecclesiam nulla salus, dalam Gereja Katolik, atau dalam Islam dikenal adanya ayat Al-Quran yang mengatakan “Agama yang diridai di sisi Allah hanyalah Islam” (QS 3:19). Atau juga penafsiran terhadap ayat pedang QS 9:29 dan QS 2:256. Dari sini kita dapat melihat bahwa ternyata dalam suatu agama pun terdapat suatu yang dapat menjadi dasar pembenaran bagi para pelaku kekerasan . Hal ini juga sangat nampak misalnya yang dilakukan oleh para jihat dan orang-orang yang ingin mendirikan suatu negara agama .
Berhadapan dengan realitas tersebut, sekiranya baik jika kita kembali pada apa yang dikatakan oleh Panikkar bahwa dalam perjumpaan dengan orang beragama lain kita harus berani melepaskan keterikatan dogma dan rumusan kepercayaan yang bisa mengantar pada eksklusivisme agama dan ketertutupan yang radikal. Ketika suatu agama mengklaim bahwa agamanyalah yang paling benar, atau di luar agamanya tidak ada kebenaran atau keselamatan, dan akhirnya juga mengurusi urusan agama lain, maka yakinlah bahwa dialog tidak akan pernah ada.
Sebagai bahan refleksi bagi kita semua, sudah sejauh mana kita menempatkan dan memposisikan ideologi agama kita berhadapan dengan umat beragama lain? Sanggupkah kita dengan rendah hati meletakkan (untuk sementara) keyakinan akan kebenaran agama kita untuk duduk bersama-sama berdialog dengan agama lain? Mampukah kita melihat pluralitas itu bukan saja sebagai masalah, tetapi suatu berkat? Mampukah kita menerima persamaan dan perbedaan dengan serius dan tulus? Dan mampukah kita menjadikan perjumpaan pribadi kita dengan orang yang beragama lain itu sebagai suatu tindakan harapan untuk menacapai transformasi diri? Dialog yang sesungguhnya tidak akan melunturkan iman kita tetapi justru akan saling menguatkan.

Penutup
Menyakini bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang benar adalah baik, bahkan itu merupakan keharusan. Tetapi menjadi tidak baik ketika mengatakan bahwa agamakulah yang paling benar sementara agama orang lain salah. Apalagi ketika ingin melakukan tindakan langsung untuk memaksakan kebenaran yang diyakini itu kepada orang lain dengan melakukan aksi kekerasan. Ingatlah bahwa Yang Satu (Tuhan) itu bisa dipahami dan diyakini dengan berbagai cara dan itu semua adalah ”jalan” yang benar menuju hakikat yang Absolut.









Daftar Pustaka

Cantwell S. W.,
1975, “A Human View of Thruth”, dalam John Hick (ed), Thruth and Dialogue: The Relationships between world religions, London: Sheldon Press.
Coward, H.,
1989, Pluralisme, tantangan bagi agama-agama, Yogyakarta, Kanisius.
Galus, B.S.,
2009 “Politik Indentitas, Konflik Horizontal dan Ancaman Etno-sentrisme, tantangan bagi pemerintah”, dalam paper untuk Jurnal Fenomena.
Kanisius L.S.,
2006, Allah dan Pluralisme Religius, Menelaah Gagasan Raimundo Panikkar, Yogyakarta, Kanisius.
Muawiyah R.A.(ed),
2006, Demi ayat TUhan, Upaya KPPSI menegakkan Syariat Islam, Jakarta, OPSI.
Panikkar, R.,
1999, The Intra-Religious Dialogue, New York, Paulist Press.
1973, The Trinity and The Religious Experience of Man, Orbis Books, Maryknoll, New York,
1968, The Unknown Christ of Hinduism, Orbis Books, Maryknoll, New York.
Prabhu, J.,
2006, The Intercultural Challenge of Raimon Pannikar, dalam Silvester Kanisius L. Allah dan Pluralisme Religius, menelaah Gagasan Raimundo Panikkar, Jakarta, Obor.
Sudarminta, SJ,
Setia Pada Kebenaran, Sumbangan Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, pidato yang disampaikan saat pengukuhannya sebagai guru besar Filsafat di STF Driyakara, Jakarta, 12 Mei 2007.
Sudiarja A. (ed),
1994, Dialog Intra-religius, Yogyakarta, Kanisius.
www.google.com.
BAB 1
PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Masalah
Kematian adalah suatu kepastian bagi semua orang dan sekaligus sebagai misteri. Disebut pasti, karena semua orang akan mengalaminya, dan tak ada seorang manusia pun yang mampu menghindarinya. Tetapi sekaligus misteri karena tidak seorang pun yang mengetahui kapan waktunya. Karena itu pengkhotbah mengatakan “Tiada seorang pun berkuasa menahan angin dan tiada seorang pun berkuasa atas hari kematian” (Pkbh 8:8). Artinya, kendatipun kematian pasti akan dialami oleh setiap manusia, tetapi waktu dan harinya tidak ada seorang pun yang mengetahui dan mampu mengelaknya. Selain itu, kematian juga pasti akan membawa duka dan tidak jarang membawa perubahan dalam diri orang yang ditinggalkan, entah itu saudara, orang tua, anak, maupun sanak keluarga dan semua orang yang memiliki kedekatan emosional dengan orang yang meninggal itu.
Ketika seseorang, atau sebuah keluarga mengalami duka karena ditinggalkan oleh salah seorang sanak keluarga mereka, sebagai sesama seiman pasti akan memberikan penghiburan kepada mereka. Penghiburan itu sangatlah penting dan berarti bagi mereka yang mengalami kedukaan, karena bisa memberi kekuatan dan dorongan untuk tetap semangat menghadapi dan menjalani kehidupan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, perhatian dan dukungan dari berbagai pihak itu akan semakin berkurang.
Kehilangan suami bagi seorang istri akibat kematian pasti akan menjadi duka mendalam. Kehidupan yang telah dilalui bersama, dan kebahagiaan-kebahagiaan yang telah dibangun bersama selama hidup berkeluarga kini tinggal kenangan. Kenangan-kenangan tersebet akan selalu terngiang kembali dan tidak jarang dirindukan kembali. Kenangan manis bersama selama mereka hidup bersama selalu diharapkan untuk kembali terulang. Kendatipun memang itu hanyalah harapan kosong yang tidak mungkin terjadi lagi.
Dalam keadaan yang demikian, tentu ini menjadi suatu persoalan yang sangat berat dan menekan sang istri. Belum lagi pergumulan hidup ke depan yang harus dihadapinya sendiri. Tanggung jawab yang selama ini dipikul bersama dengan pendamping hidupnya harus dipikulnya sendiri. Dia harus menjadi Single parent, ibu sekaligus ayah buat anak-anaknya, serta menjadi suami bagi dirinya sendiri.
Dengan kondisi seperti ini, tentu menjadi kesulitan bagi seorang ibu karena dia harus berusaha dengan keras dalam keterbatasan dan kelemahannya untuk memikul semunaya sendirian. Kelemahan dan keterbatasan dalam dirinya membuatnya merasa tidak berarti. Ketakberdayaannya dalam mengemban tugas membuatnya merasa semakin sendiri karena tidak ada orang yang dapat ditempati untuk berbagi. Masyarakat dan gereja pun kurang memberi perhatian karena berbagai kesibukannya.
Anak sebagai anugerah yang telah Tuhan berikan dalam hidupnya, ternyata juga tidak mampu memenuhi kebutuhan sang Ibu, sebagaimana yang ia dapatkan dari suaminya sendiri. Padahal seorang anak diperlengkapi sedemikian rupa supaya kelak bisa menjadi pendamping dan penopang keluarga, tidak hanya sebagai pemberi nafka dalam hal materi tetapi diharapkan mampu memenuhi kebutuhan spiritual, psikis dan mental orang tuanya. Namun terkadang karena kesibukannya, mereka tidak lagi memperhatikan kebutuhan ibunya, bahkan terkadang anak mendapat kesulitan untuk bisa memahami ibunya. Salah satu penyebabnya karena adanya perubahan dalam diri seorang ibu janda yang sangat cepat sehingga membuat anak-anak merasa kebingungan dan kesulitan dalam bertindak untuk mengambil tindakan tepat yang dapat digunakan menolong ibunya.
Akibat keterbatasan anak dalam memahami kondisi psikis seorang ibu janda membuat ibu janda semakin sedih dan merasa sendiri. Padahal dalam Yakobus 1:27 diharapkan agar setiap orang memperhatikan janda-janda dalam kesusahan dan menjaga supaya janda-janda tidak dicemarkan oleh dunia. Tanggung jawab ini harus dikerjakan dengan sungguh walaupun banyak kesulitan yang dihadapi karena kondisi seorang ibu janda berbeda dengan kondisi ibu lainnya. Karena pada umumnya seorang ibu janda itu sangat sensitif, mudah rapuh, selalu menuntut diperhatikan dan terkadang merasa sendiri. Dan bahkan merasa terasing dari masyarakat.
Kurangnya perhatian dari masyarakat dan gereja dan turunnya status sosial seorang janda inilah yang menjadi keprihatinan penulis. Idealnya, sebagai justru seorang janda sebagai seorang yang sangat membutuhkan perhatian dan pertolongan, masyarakat seharusnya memberikan perhatian ektra terhadap para janda. Namun kenyataanya, kita dapat melihat sudah sejauh mana gereja dan masyarakat memperhatikan janda? Sudah adakah program jemaat yang dibuat secara khusus untuk pendampingan terhadap mereka? Justru perhatian lebih yang seharusnya diperoleh seorang ibu janda tidak mereka dapat. Oleh karena itu, satu-satunya harapan adalah anak. Berhadapan dengan kondisi ini anak diharapkan untuk mampu berperan aktif dalam mendampingi ibu mereka, sehingga mereka tidak melalui hari-hari hidupnya dengan kekosongan. Kalau bukan anak, siapa lagi yang akan memperhatikan orang tua mereka sendiri?
Padahal, kasih sayang orang tua terhadap anak, ada yang mengumpamakannya seperti air sungai yang mengalir tanpa henti. Ada semboyan yang mengatakan “kasih ibu sepanjang masa”. Bahkan ada pepatah mengatakan, “surga ada di telapak kaki ibu”. Semboyan dan pepatah kuno ini sebenarnya hendak menjelaskan mengenai pengorbanan seorang ibu dalam mengandung, melahirkan, dan mengasuh anak-anak dan tidak pernah berhenti mendampingi anaknya. Hal ini tidak bermaksud mengecilkan peranan seorang bapak, tetapi pengorbanan ibu menggambarkan cinta kasih orang tua yang tulus terhadap anak. Yes 49:15 mengatakan, “dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyanyangi anak dari kandungannya?” . Dari ayat ini dapat ditafsirkan bahwa kasih ibu memang luar biasa terhadap anak-anaknya. Dengan mengingat kasih ibu yang sungguh besar dalam kehidupan seorang anak, karena itu anak wajib mengasihi ibunya, tentu saja dalam kekurangan dan kelebihan ibunya.
Ketika status ibunya telah berubah menjadi janda anak harus menyadari bahwa dia harus memegang peranan penting dalam mendampingi ibunya karena pada saat itu dia membutuhkan lebih banyak perhatian, cinta kasih dan perawatan dari anak-anaknya. Sebab itu anak tidak boleh menyerahkan pendampingan orang tuanya sepenuhnya kepada gereja atau orang lain.
Karena itu dikatakan dalam I Tim 5:4, “ Tetapi jika seorang janda mempunyai anak atau cucu, hendaknya mereka itu pertama-tama belajar berbakti kepada kaum keluarganya sendiri dan membalas budi orang tua dan nenek mereka karena itulah yang berkenan kepada Allah”. Dengan melihat bagian kitab ini, dapat dikatakan bahwa yang berperan utama sebenarnya dalam mendampingi janda adalah anak atau kaum keluarga janda itu sendiri. Namun sayang keterbatasan anak baik karena pekerjaan, keluarga baru mereka dan ketidaktahuan dalam mendampingi seorang ibu janda malahan menambah luka batin dalam diri seorang ibu janda. Seorang janda yang sudah berusia lanjut, tinggal sendiri, menjalankan roda keluarga sendiri, justru ditinggalkan oleh anaknya sendiri. Maka itu tidak heranlah jika mereka mudah tersinggung dan marah karena dalam usia ini seseorang pasti mengalami emosi yang tidak stabil.
Maka itu, tidak jarang perhatian dan kasih sayang seorang anak yang diberlakukan kepada ibunya terkadang justru menjadi luka yang menyayat hati seorang ibu. Kondisi ini kadang membuat seorang anak serba salah sehingga tidak tahu apa yang akan dilakukanya untuk ibunya yang sudah janda itu. Bahkan ketidakmampuan membangun komunikasi yang tepat antara anak dan orang tua menjadi masalah yang sangat berat di mana anak dan orang tua selalu saling menyakiti, hanya karena ketidaktahuan mereka. Sampai kapankah anak akan menyakiti ibu yang disayanginya hanya karena ketidaktahuannya menyatakan perasaan dan melakukan tindakan yang tepat terhadap ibunya? Demikian sebaliknya sampai kapan seorang ibu menyakiti hati anak yang begitu disayanginya hanya karena dia tidak mengerti bahasa anaknya?
Dengan melihat hal-hal itu penulis ingin mengkaji lebih jauh apa yang menyebabkan sehingga anak tidak mampu memahami kondisi ibu janda. Dan langkah apa yang harus dilakukan anak untuk memahami kondisi ibunya sehingga anak dapat melakukan tugasnya dengan tepat dalam mendampingi ibunya serta ibu bisa merasakan betapa besar perhatian anaknya kepadanya, walaupun hanya sebagian dari waktu dan perhatian anak yang diberikan kepada ibunya.

A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, dapat dilihat bahwa masalah yang akan dikaji adalah bagaimana peran anak mendampingi ibunya yang sudah janda dan bagaimana supaya anak mampu memahami kondisi psikis yang dialami ibunya yang sudah janda ?
B. Tujuan penelitin
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan yang hendak dicapai adalah anak diharapkan mampu berperan dalam mendampingi ibunya yang sudah janda dan mengetahui kondisi psikis seorang ibu janda sehingga mampu memberi pendampingan yang tepat.
C. Signifikansi Penelitian
1. Signifikansi Akademik
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangsi pemikiran bagi mahasiswa teologia mengenai masalah psikis yang dialami oleh seorang ibu janda akibat meninggalnya sang suami dan mampu memberi solusi yang tepat dalam menghadapi berbagai persoalan.
2. Signifikansi Praktis
Penulisan ini tentunya bermanfaat bagi penulis yang sudah menjadi yatim dalam mendampingi ibu dan diharapkan tulisan ini dapat juga bermanfaat bagi pembaca, secara khusus kepada anak yatim lainnya yang kini hanya memiliki orang tua tunggal yaitu ibu janda, supaya dapat dimampukan memahami keadaan ibunya sehingga bisa memberi pendampingan yang tepat.

D. Metode Penelitian
Dalam membahas pokok ini, penulis menggunakan metode kualitatif, dalam bentuk penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan (melalui wawancara dan observasi).

E. Sistematika Penulisan
BAB I: PENDAHULUAN
Sebagai bagian awal dalam topik ini akan diuraikan secara singkat mengenai: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, signifikansi penulisan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : LANDASAN TEORI
Dalam bab ini akan menggambarkan bagaimana kondisi psikis seorang janda, masalah-masalah yang dihadapi dan faktor-faktor yang memengaruhi kondisi ibu janda menurut para ahli, pandangan Alkitab tentang ibu janda, peran anak dalam mendampingi ibu janda dan faktor-faktor yang menghambat pendampingan anak terhadap ibu janda serta solusi tepat yang dapat dilakukan anak dalam mendampingi ibunya yang sudah janda
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
Memuat tentang gambaran umum lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, yaitu wawancara dan obsevasi.
BAB IV: PEMAPARAN HASIL PENELITIAN DAN ANALISISNYA
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN











DAFTAR PUSTAKA
A. ALKITAB
Alkitab
2001 Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Jakarta LAI
B. BUKU-BUKU KARANGAN
C.Suwarnsi.
2005, Psikologi keluarga hubungan intra keluarga, Yogjakarta (Tim Pembina persiapan berkeluarga)
Dewan Redaksi PAK-PGI
2009, Suluh Siswa PAK SMA kelas 10, Jakarta (BPK Gunung Mulia)
Kristianto.P.L.
2006, Prinsip dan Praktik Pendidikan Agama Kristen, Yogyakarta (Andi)
Sielp,David.
1992, Kepribadian Keluarga, Jakarta (Kanesius)
Sujanto, J.
2005, Janda dan Duda, Masalah dan Pemecahannya, Jakarta (Kanesius)
Totok,Wirya Saputra.
2007, Menolong Keluarga Bermasalah, Jakarta (Pelkesi)

Selasa, 18 Mei 2010

perkawinan

“Perkawinan” Allah-Israel
Sebagai Dasar Perkawinan Katolik



Diajukan sebagai Tugas akhir Mata Kuliah Moral Keluarga
Tahun Ajaran 2009/2010

Oleh:
Cornelius Timang
FT. 3117

FAKULTAS TEOLOGI WEDABHAKTI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
Yogyakarta
2010


Pendahuluan
Dewasa ini tingkat perceraian di antara pasangan suami istri di Indonesia cukup tinggi. “Jumlah perceraian di Indonesia telah mencapai angka yang sangat fantastis. Tercatat, pada tahun 2007, sedikitnya 200 ribu pasangan melakukan pisah ranjang alias cerai. Meski angka perceraian di negara ini tidak setinggi di Amerika Serikat dan Inggris (mencapai 66,6% dan 50% dari jumlah total perkawinan), namun angka perceraian di Indonesia ini sudah menjadi rekor tertinggi di kawasan Asia Pasifik. Angka perceraian di Indonesia diprediksi oleh banyak pihak akan selalu meningkat tiap tahun” .
Mengapa angka perceraian itu terus meningkat? Salah satu penyebabnya adalah karena adanya perubahan nilai-nilai sosial yang sedang terjadi di tengah masyarakat Indonesia. Selain itu karena adanya perubahan budaya dan life style (gaya hidup) masyarakat. Bahkan akibat kemampuan ekonomi yang terus meningkat di kalangan kaum wanita, ikut mempengaruhi tingginya gugatan cerai yang diajukan istri terhadap suami. “Pada tahun 2000-an hanya 30 % perceraian karena suami yang menceraikan isterinya, sedangkan tahun 2005 ada 68, 5 % perceraian melalui cerai gugat, di mana isteri menggugat cerai suaminya” . Dan yang juga tidak dapat dilupakan adalah adanya dampak globalisai arus informasi melalui media massa yakni infotaimen yang menampilkan figur artis dengan bangga mengungkap kasus perceraiannya juga menjadi pemicunya. Betapa banyaknya angka perceraian ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak mengetahui lagi inti dan makna terdalam dari perkawinan itu.
Dari fakta di atas kita dapat bertanya: mengapa orang zaman sekarang sangat mudah mengadakan perceraian. Padahal ketika mereka akan melangsungkan pernikahan tentu saja mereka telah dibekali dengan berbagai pengetahuan sekitar perkawinan , misalnya tentang hakikat perkawinan, tujuan perkawinan, sifat perkawinan, konsekuensi perkawinan, dasar perkawinan, tanggung jawab menjadi ibu atau bapak, dan lain-lain. Bagi yang beragama Katolik akhirnya mereka bisa menerima sakramen perkawinan ketika mereka telah diandaikan lulus. Artinya mereka diandaikan sudah mengerti tentang perkawinan itu sendiri.
Kendatipun demikian, mengapa angka perceraian baik di kalangan masyarakat pada umumnya maupun umat Katolik masih tinggi? Mungkinkah karena pendidikan yang mereka terima dan penyelidikan kanonis yang dilakukan sebelum perkawinan itu belum mencukupi? Ataukah sebenarnya mereka sudah tahu tetapi belum memahami sesungguhnya hakikat perkawinan itu? Padahal jika kita melihat hakikat perkawinan adalah monogam dan takterceraikan. Artinya pasangan suami-istri harus setia pada pasangannya sampai akhir hayatnya. Dan dengan demikian perceraian tidak diperbolehkan.
Nah, pertanyaannya: mengapa perkawinan itu mesti tak terceraikan? Mengapa Gereja sangat menekankan adanya sifat monogam dan tak terceraikan? Sekiranya alasan klasik yang diberikan oleh Gereja adalah karena Allah sendirilah pencipta perkawinan itu . Karena Allah telah terlebih dahulu mengambil Israel sebagai “istri-Nya”. Kendatipun Israel tidak setia, namun Allah tetap setia. Hubungan Allah-Israel yang dianalogikan sebagai hubungan suami-istri ini didasarkan pada kisah nabi Hosea dengan Istrinya Gomer sang pelacur dalam kitab Hosea. Makalah ini akan membahas tentang tingginya nilai perkawinan Kristiani, yang didasarkan pada hubungan perkawinan Allah-Israel dalam Kitab Hosea.

Sejarah Perkawinan dalam Kitab Suci
Sebelum membahas tentang perkawinan itu sendiri, penulis ingin memaparkan sekilas tentang sejarah perkembangan perkawinan. Dengan pemaparan historis semacam ini diharapkan agar pembaca dapat menempatkan perkawinan itu dalam konteks perkembangan sejarahnya. Terutama ketika membahas tentang perkawinan sebagai hubungan Allah-Israel dalam Kitab Hosea.
Sejarah perkembangan perkawinan akan dimulai dari Perjanjian Lama. Peraturan tentang perkawinan dalam Perjanjian Lama semua termaktub dalam Torah atau kelima taurat Musa. Selain itu model atau contoh perkawinan nenek moyang bangsa Israel (Abraham, Ishak dan Yakub), juga memperngaruhi pemahaman mereka akan perkawinan. Dengan demikian hukum perkawinan bagi bangsa Israel adalah campuran antara “Hukum Adat” dengan Undang-undang formal .
Pada dasarnya umat Israel menilai perkawinan secara positif. Namun menjelang zaman Perjanjian Baru, mulai muncul suatu tendensi anti seksualitas dan anti perkawinan. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya pengaruh asing. Memang nabi Yeremia melarang umat Israel untuk menikah dalam Yer. 16:2, tetapi larangan itu sebenarnya tidak bersangkut-paut dengan suatu sikap negatif terhadap seksualitas dan perkawinan. Sebenarnya nubuat Yeremia itu ingin mengatakan tentang kehancuran Israel / Yehuda yang tidak setia pada perjanjian .
Mari kita lihat sedikit tentang sejarah perkembangan Perkawinan dalam Kitab Suci . Mulai dari kitab Kejadian 1:26-28. Dalam bab pertama Kitab Kejadian ini, hakikat perkawinan menurut pengarang adalah persatuan antara seorang pria dan seorang wanita, yang diberkati oleh Allah sendiri dan diberi tugas bersama olehNya untuk meneruskan generasi manusia serta memelihara dunia. Kejadian 2:18-25, menekankan bahwa tujuan unitif perkawinan adalah kesatuan erat antara suami-istri itu sendiri. Sementara Kitab Tobit 6-8, mengatakan bahwa hakikat perkawinan adalah kesatuan erat antara seorang pria dan wanita yang sudah ditentukan oleh Allah sendiri, berdasarkan cinta kasih dan ketulusan hati yang diawali dengan suatu peresmian hukum yang berlaku serta perayaan yang melibatkan seluruh keluarga. Kitab Maleaki 2, menyatakan bahwa perkawinan itu berciri prokreatif dalam arti yaang sekaligus religius: perkawinan antara orang-orang Yudea diharapkan menurunkan anak-anak bagi Allah. Karena itu perceraian dan perkawinan dengan menyembah dewa-dewi akan mengecewakan harapan itu.
Selanjutnya dalam kitab Hosea 1-3, mengatakan bahwa perkawinan harus berciri setia sepenuh-penuhya. (Pembahasan lebih lanjut dalam tentang Kitab Hosea ini akan dibahas dalam sub bab berikutya). Dalam Kidung Agung ditunjukkan tentang segi manusiawi dari cinta antara pria dan wanita yang siap menjadi suami-istri. Amsal 5-6 dan 31, ingin mengatakan bahwa perkawinan yang baik harus mempunyai ciri setia dan total.
Sekarang marilah kita lihat dalam Perjanjian Baru. Matius 19 dan Markus 10 mengemukakan tentang pendapat Yesus akan Perkawinan. Di sana dikatakan bahwa perkawinan adalah kesatuan erat antara seorang pria dan seorang wanita yang dipersatukan oleh Allah sendiri sedemikian erat sehingga keduanya bukan lagi dua melainkan satu. Efesus 5, megemukakan tentang pandangan Paulus akan perkawinan. Dari pasal itu dapat disimpulkan bahwa perkawinan Kristen merupakan lambang dari hubungan Kristus dan Gereja. Dan pandangan terakhir dalam Kitab Suci adalah dalam I Korintus 7. Di sana secara implisit dikatakan bahwa perkawinan adalah kesatuan erat antara seorang pria dan wanita yang memberikan kepada keduanya hak prerogatif atas hubungna seksual dengan patnernya dan menjauhkan keduaya dari bahaya percabulan.
Dari keseluruhan penjelasan tentang Perkawinan di atas sekiranya pembahasan dalam Kitab Hosea 1-3 menjadi menarik untuk disimak. Yang menarik dari pandangan Hosea ini adalah pengarang menempatkan hubungan suami istri dalam kaitannya dengan TUHAN. Dan sebenarnya inilah yang menjadi alasan klasik yang biasa diungkapkan Gereja berkaitan dengan perkawinan yang tidak terceraikan itu. Memang selain dalam Kitab Hosea, hal ini juga dikatakan dalam Efesus 5, di mana Paulus menempatkan hakikat perkawinan dalam hubungannya dengan Allah. Namun makalah ini hanya akan membahas kitab Hosea sebagai salah satu dasar perkawinan Katolik yang monogam dan takterceraikan.

Kitab Hosea
Berbicara mengenai kitab Hosea, asumsi kebanyakan orang akan langsung mengingat tentang perkawinan antara nabi dengan seorang sundal. Nabi diperintahkan oleh TUHAN untuk mengambil perempuan sundal itu, Gomer bin Diblaim, menjadi istrinya. Ketika TUHAN mulai berbicara dengan perantaraan Hosea, berfirmanlah Ia kepada Hosea: "Pergilah, kawinilah seorang perempuan sundal dan peranakkanlah anak-anak sundal, karena negeri ini bersundal hebat dengan membelakangi TUHAN” (Hos. 1:2).
Jika kita memperhatikan perintah ini, pertanyaan yang dapat muncul adalah: mengapa TUHAN memerintahkan Nabi untuk mengawini perempuan sundal. Tidakkah hal ini bertentangan dengan hukum taurat? Dari peristiwa ini seakan-akan TUHAN mendukung perzinahan dan persundalan . Dalam kitab Hosea, kedua istilah tersebut “Perzinahan” dan “Persundalan” dipakai dalam dua arti yang berbeda yaitu secara harafiah dan kiasan. Secara harafiah berarti melakukan hubungan seksual di luar nikah atau dengan pasangan lain. Dan dalam arti kiasan biasa dipakai dalam lingkup politik yang berhubungan dengan bangsa-bangsa lain atau dalam lingkup religius yaitu mengikuti allah-allah lain .
Dan bila kita mengamati teks Hosea, istilah “perzinahan” dan “persundalan” dipakai bersamaan, secara harafiah dan secara kiasan. Artinya, Nabi Hosea memang melihat bahwa realitas perzinahan dan pesundalan merupakan suatu tren dalam masyarakat. Bahkan dia sendiri mengalaminya dalam keluarganya, di mana Gomer istrinya adalah seorang pezinah, bahkan pelacur. Selain itu ada juga kecurigaan bahwa masyarakat Israel melakukan perzinahan dengan allah-allah lain (sinkretisme).
Dikatakan berzinah dengan allah lain karena pada saat itu, orang Israel mensinkretiskan kepercayaan pada TUHAN dengan agama Kanaan . Dan kepercayaan dalam agama Kanaan yang bertentangan dengan Taurat (UL. 23:17) adalah pelacuran suci. Misalnya untuk mendatangkan hujan maka manusia harus melakukan upacara-upacara bakti dengan berhubungan seksual di bumi agar Dewa Kesuburan menurunkan hujan. Apa yang dipraktekkan oleh penganut agama Kanaan ini ternyata menarik hati orang Israel. Karena agama Kanaan lebih menjanjikan di bidang pertanian maupun dalam bidang keamanan. Akibatnya, tidak sedikit orang Israel yang melakukan dan mengikuti ritual agama Kanaan. Bahkan istri Hosea sendiri adalah pelacur bakti atau Qodashot .
Berhadapan dengan realitas tersebut, Nabi ingin menyampaiakan kritikannya. Dalam menyampaikan kritikannya, Hosea memanfaatkan berbagai macam gaya sastra misalnya bahasa pengadilan, metafor perkawinan ataupun metafor hubungan orang tua dan anak . Dari semua gaya bahasa yang digunakan itu, yang peling terkenal dari Hosea adalah (analogi) perkawinannya dengan Gomer. Nah pertanyaanya adalah apakah perkawinan Hosea ini sungguh menceritakan suatu fakta atau merupakan fiksi?
Memang ada perdebatan di sekitar masalah ini. Para ahli ada yang mengatakan bahwa peristiwa perkawinan Hosea-Gomer tidak sesuai dengan moralitas. Karena itu peristiwa ini hanya terjadi dalam penglihatan, atau mimpi atau bahkan hanya sebagai suatu alegori atau perumpamaan . Namun ada pula yang mengatakan bahwa peristiwa tersebut adalah suatu kejadian yang sungguh-sungguh terjadi. Alasannya adalah karena memang tidak ada petunjuk yang mengindikasikan bahwa peristiwa itu hanya terjadi dalam mimpi. Alasan kedua adalah karena nama Gomer tidak mempunyai makna simbolis. Ketiga, suatu keanehan jika Hosea menceritakan sesuatu yang tidak benar terjadi. Keempat, pengalaman perkawinan dengan seorang sundal, justru memperkuat pewartaan Hosea. Dia sendiri mengalami apa yang dialami oleh TUHAN dalam hubungannya dengan Israel . Inilah gambaran Israel dalam hubungannya dengan TUHAN di mana Israel kadang tidak setia. Bangsa Israel adalah “istri” yang tidak setia. Namun TUHAN adalah “suami” yang tetap setia.
Jika kita memperhatikan keseluruhan kitab Hosea, sikap Israel terhadap TUHAN sangat tidak konsisten, kadang setia tetapi lebih sering tidak setianya. Awalnya bangsa Israel melakukan yang jahat di hadapan TUHAN yang digambarkan dengan keluarga Hosea yang tidak setia (Hos 1:2-9), kemudian TUHAN memberikan janji keselamatan kepada Israel (1:10-12), lalu Israel diterima kembali (3:1-5), tetapi kemudian para imam dan bangsa Israel tidak setia lagi (4:1-12). Karena tidak setia, maka akhirnya TUHAN mengancam Israel dan pemimpin-pemimpinnya (5:1-7), kemudian Israel mencari pertolongan di mana-mana tetapi sia-sia (5:8-14). Karena tidak menjumpai penolong dapat dijadiakan andalan melebihi TUHAN, Israel kemudian bertobat, tetapi hanya pura-pura (5:15-6:6) dan pada bab selanjutnya diperlihatkan tentang akibat yang ditimbulkan oleh dosa Israel (7:3-10:8). Pada bab 10:9-15 dikatakan bahwa TUHAN kecewa tetapi akhirnya hukuman yang dirancangkan TUHAN itu tidak jadi terlaksana, TUHAN justru mengasihi Israel.
Jika digambarkan secara singkat, dinamika hubungan TUHAN-Israel adalah: Israel berdosa  TUHAN mengampuni  Israel berdosa lagi  TUHAN mengampuni  Israel berdosa lagi  akhirnya TUHAN akan merancangkan hukuman pada Israel karena TUHAN sudah mulai muak terhadap mereka, bahkan Dia ingin mendatangkan perang di mana tidak satu pun dari mereka yang akan telepas dari pedang. Tetapi akhirnya hukuman itu tidak jadi dilaksanakan.
Dari dinamika hubungan Allah-Israel ini, maka sungguh benarlah gambaran Hosea tentang persundalan. Israel sebagai “Wanita sundal” sungguh tidak setia pada “suami”nya TUHAN. Ketika terjadi persundalan atau perzinahan oleh istri, maka sang suami sebenarnya memiliki hak untuk menceraikan istrinya jika dia mau. Kendatipun demikian, TUHAN tidak menceraikan Israel, namun justru Dia tetap mencintai Israel dan setia pada Israel. Oleh karena itu, jika sekarang Gereja Katolik menyatakan bahwa hakikat perkawinan adalah monogam dan tak tereraikan, sebenarnya hal ini memiliki pendasaran yang sangat kuat. Allah sendiri tetap mencintai Israel kendatipun dia tidak setia. Maka itu perkawinan Katolik pun seharusnya dilihat dalam kerangka ini. “Perkawinan adalah persekutuan hidup dan kasih suami istri yang mesra yang diadakan oleh sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumNya...sebab seperti dulu Allah menghampiri bangsaNya dengan perjanjian kasih dan kesetiaan, demikian pula sekarang Penyelamat umat mausia memperlai Gereja...” .

Allah Sebagai Asal Perkawinan
Di atas telah dijelaskan secara sekilas tentang sejarah Perkawinan dalam Kitab Suci. Jika disimak secara saksama, kita dapat mengatakan bahwa seluruh tradisi perkawinan ternyata mengalami perkembangan. Tetapi sejak Kej. 1-2, sudah dikatakan bahwa perkawinan selalu dihubungkan dengan Allah Pencipta.
Hal itu ditegaskan kembali dalam Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes artikel 48: Allah pencipta mendirikan perkawinan dan melengkapiNya dengan hukum-hukumNya dan mengaturNya. Dengan mengembalikan perkawinan kepada Allah Pencipta, tradisi KV II menilai perkawinan sebagai suatu yang pada prinsipnya baik dan termasuk ke dalam tata penciptaan sebagaimana dikehendaki Allah pencipta. Pada prinsipnya Konsili melihat bahwa perkawinan itu bernilai positif.
Memang sejak awal, Allah tidak pernah menurunkan suatu hukum tentang perkawinan itu, tetapi Allah Pencipta melandaskan atau bahkan dapat dikatakan mendirikan perkawinan manusia. Hal itu didasarkan pada Kej. 1-2 . Dengan kata lain kita dapat mengatakan bahwa perkawinan itu adalah rencana Allah. Karena pada awalnya pria dan wanita diciptakan satu untuk yang lain (Kej. 2:18) sebagai patner yang sederajat dalam persekutuan hidup dan cinta kasih yang disebut perkawinan. “Manusia yang karena cinta diciptakan Tuhan menurut citraNya sendiri diciptakanNya sebagai pria dan wanita. Dan Tuhan yang adalah cinta memanggil manusia untuk saling mencinta” . Namun memang kita dapat mengatakan bahwa teks tersebut bukanlah suatu kesaksian atau laporan saksi mata, melainkan suatu refleksi atas pengalaman dari mereka yang percaya kepada Allah Israel yang menciptakan manusia sebagaimana adanya. Tetapi dari hal seperti inilah kita dapat melihat betapa luhur dan mulianya perkawinan itu.
Keagungan dan keluhuran perkawinan itu juga dikatakan dengan jelas dalam Kitab Hukum Kanonik. Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen . Kanon ini mengartikan perkawinan sebagai suatu perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita, untuk membentuk kebersamaan seluruh hidup. Melihat definisi ini ternyata memiliki kesamaan dalam Gaudium et Spes artikel 48, yaitu memandang perkawinan sebagai suatu perjanjian, dan bukan sebagai suatu kontrak . Kedua hal ini: perkawinan sebagai sebuah “perjanjian” dan perkawinan sebagai sebuah “kontrak” ternyata memiliki implikasi yang sangat besar bagi pemahaman perkawinan.
Jika perkawinan hanya dipandang sebagi sebuah kontrak artinya bahwa perkawinan hanya dilihat sebagai sebuah persetujuan antara dua atau beberapa orang yang saling mewajibkan diri untuk saling memberikan, melakukan atau menghindarkan sesuatu . Jadi kesannya perkawinan terlihat seperti dipaksakan. Dan dalam perkawinan seakan-akan terdapat sebuah jangka waktu yang telah disepakati bersama. Jika jangka waktu itu sudah habis, maka kontrak itu akan habis pula. Berbeda jika dikatakan bahwa perkawinan sebagai sebuah “perjanjian”. Artiya ada sebuah kesepakatan antara kedua pihak. Dan kesepakatan itu sifatnya lebih bebas dan personal. Jadi dengan mengatakan bahwa perkawinan sebagai sebuah perjanjian dan bukan lagi sebuah kontrak, sebenarnya Gereja ingin menekankan dimensi personalnya dari pada dimensi institusional.
Kendatipun istilah “kontrak” tidak lagi digunakan, namun Gereja tidak menolak hakikat perkawinan sebagai sebuah kontrak. (Tetapi “kontrak” dalam hal ini diartikan sebagai kesepakatan atau pejanjian). Karena di dalam perkawinan itu sendiri unsur kontrak masih ada. Misalnya dalam forma perkawinan dikatakan bahwa perkawinan sebagai kesepakatan pribadi antara seorang pria dan wanita. Objek perkawian: kebersamaan seluruh hidup, dan akibatnya: hak atas persetubuhan dan atas kebersamaan seluruh hidup.
Dari kanon 1055 di atas, dengan jelas dikatakan bahwa perjanjian (foedus) perkawinan...antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen. Apa konsekuensinya jika dikatakan bahwa perkawinan adalah sebuah sakramen? Konsekuensinya adalah bahwa ikatan atau perjanjian mereka itu bukanlah perjanjian biasa tetapi suatu simbol yang menghadirkan kasih dan kesetiaan Allah sendiri kepada umatNya. Pesekutuan yang dibentuk oleh perkawinan menandakan hubungan yang tak terpisahkan antara Allah dan umat-Nya. “Itulah sebabnya kita dapat memahami mengapa perkawinan dijadikan simbol relasi TUHAN dengan umatNya Israel . Dalam Gereja Katolik perkawinan yang sah dan sakramen yang dilangsungkan antara dua orang yang telah dibaptis dan dilaksanakan sesuai dengan norma-norma kanonika disebut perkawinan ratum. Sementara perkawinan yang sah dan sakramen yang sudah disempurnakan dengna pesetubuhan suami isti disebut perkawinan yang ratum et consummatum.

Hakikat dan Tujuan perkawinan Katolik
Hakikat perkawinan Katolik akhirnya dapat ditarik dari prinsip dasar di atas: perkawinan sebagai hubungan Allah-Manusia . Oleh karena itu, hakikat perkawinan Katolik adalah monogam (unitas) dan takterceraikan (indisolubilitas). Yang dimaksud dengan monogam adalah bahwa perkawinan hanya sah jika dilaksanakan hanya antara seorang pria dan seorang wanita. Dan yang dimaksud takterceraikan adalah bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah menurut tuntutan hukum, mempunyai akibat tetap dan tidak bisa diceraikan atau diputuskan . Jadi tanggung jawab atau kewajiban serta larangan yang dikaitkan dengan monogami didasarkan atas makna dan nilai-nilai perkawinan itu sendiri, dan bukanlah melulu perintah dan larangan tanpa dasar . Sementara ketakterceraian perkawinan Katolik didasarkan pada makna perkawinan sebagai persekutuan antar pribadi senasib seluruh hidup seutuhnya. Selain itu pendasaran lainnya adalah karena adanya konsekuensi negatif yang ditimbulkan oleh perceraian, baik bagi suami atau istri sendiri, anak-anak maupun masyarakat.
Sekiranya hubungan perkawinan suami-istri yang monogam dan takterceraikan itu mendapat pendasaran dari kasih perkawinan Allah-Israel. Sebagaimana perkawinan Allah-Israel, kendatipun Israel tidak setia, namun Allah tetap setia. Kesetiaan Allah pada Israel yang tidak setia itu, tentu saja didasari oleh kasih atau cinta yang total dan sungguh-sungguh. Seandainya Allah tidak mencintai dan mengasihi Israel sebagai istrinya, mana mungkin Dia masih menaruh belaskasihan padanya. Oleh karena itu intisari moral perkawinan Katolik adalah Kasih .
Jika dikatakan bahwa intisari moral perkawinan Katolik adalah kasih, berarti perkawinan yang tidak didasari kasih bukanlah perkawinan yang bermoralkan Katolik. Memang akhirnya di dalam moral Katolik dikatakan bahwa kasih adalah syarat utama terbentuknya suatu persekutuan seorang laki-laki dan seorang perempuan. Namun seberapa besarkah kasih yang harus dimiliki oleh pasangan suami-istri? Gereja akhirnya memberikan syarat kasih yang paling minimal yaitu kesediaan untuk hidup bersama dan saling memberikan diri melalui hubungan seks. Oleh karena itu di dalam Kitab Hukum Kanonik dikatakan bahwa perkawinan baru dinyatakan sah dan dianggap sebagai sakramen jika telah terjadi consummatum (persetubuhan) . Jadi consummatum merupakan syarat keabsahan suatu perkawinan Katolik. “Dengan persetubuhan, perkawinan ini menjadi tanda penuh dan sempurna hubungan kasih Kristus dan Gereja. Karena itu bersifat tak terceraikan secara mutlak . Artinya tidak ada kuasa manapun yang mampu memisahkan suami-istri dari ikatan kudus ini kecuali kematian. Perkawinan yang monogam dan tak terceraikan inilah yang menjadi hakikat perkawinan Katolik.
Adapun tujuan perkawinan dengan jelas dikatakan dalam KHK kanon 1055 paragraf 1, Perjanjian perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan perempuan membentuk antara mereka persekutuan seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami istri, serta kelahiran dan pendidikan anak... Kanon ini menunjukkan paling kurang 3 tujuan utama perkawinan, yaitu: kesejahteraan suami istri, prokreasi dan pendidikan anak . Perlu dicatatat bahwa kesejahteraan suami istri yang dimaksud bukan berarti mencapai hidup yang nyaman atau tidak terusik, tetapi dalam usaha dan pengorbanan suami istri dalam saling setia untuk mengembangkan dan menyempurnakan kepribadian mereka .

Problematika Perkawinan zaman Ini
Setelah melihat tentang hakikat, tujuan dan sifat perkawinan maka marilah kita meneropong realitas perkawinan saat ini.
Di atas telah dikatakan bahwa hakikat perkawinan Katolik adalah monogam dan tak terceraikan. Perkawinan Katolik adalah perkawinan yang abadi yang tidak dapat diputuskan oleh apa pun kecuali oleh maut. Alasannya sangat jelas, yaitu karena perkawinan Katolik adalah sebuah sakramen. Artinya hubungan suami-istri itu adalah suatu tanda dan simbol kehadiran Kristus sendiri. Karena tanda dan kehadiran Kristus, maka perkawinan itu tidak boleh dipisahkan. Sebagaimana hubungan TUHAN-Israel kendatipun Israel tidak setia, tetapi TUHAN tetap setia selamanya. Karena itu, apapun tantangan dalam hidup berkeluarga, hakikat perkawinan ini: monogam dan tak terceraikan, harus tetap dipertahankan. Gereja akan terus melindungi dan membela martabat asli maupun nilai luhur dan kesucian status perkawinan. Pada zaman ini, masih sanggupkah Gereja menegakkan ke-monogam-an dan ke-takterceraiaan perkawinan Katolik?
Padahal, dewasa ini arus globalisasi dan sekularisasi merupakan suatu tantangan sendiri bagi manusia zaman ini. Individualistis, egoistis, pragmatis, instanistis, dan tidak peduli pada orang lain merupakan warna manusia sekarang. Semua itu tidak lepas dari pengaruh kemajuan teknologi dan arus globalisasi-sekularisasi yang menjadikan generasi sekarang mendewakan materi, prestasi, kepraktisan, kemudahan, dan ingin serba cepat. Gaudium et Spes juga dengan jelas telah mensinyalir fenomen ini. “...cinta perkawinan cukup sering dicemarkan oleh cinta diri, gila kenikmatan dan ulah-cara yang tidak halal melawan timbulnya keturunan. Kecuali itu, situasi ekonomis, sosio-psikologis dan kemasyarakatan dewasa ini menimbulkan gangguan-gangguan yang tidak ringan terhadap keluarga . Tentu saja masalah ini akan terus menjadi tantangan bagi keutuhan sebuah keluarga.
Lihatlah, kehidupan keluarga sekarang ini. Sangat jarang kita bisa menjumpai keluarga-keluarga yang masih memberikan waktu untuk keluarganya secara total. Jangankan memikirkan keluarga, berkumpul bersama seluruh anggota keluarga saja, mungkin tidak pernah. Jika pun berkumpul bersama, masing-masing disibukkan dengan “istri”, “suami”, “saudara” dan “orang tua” masing-masing dalam bentuk Hand Phone. Tidak sulit kita menjumpai keluarga yang sebenarnya berkumpul bersama tetapi pikiran dan hatinya berada pada “istri, suami, saudara atau orang tua” masing-masing. Padahal dulu, keluarga sungguh menjadi suatu pertemuan seluruh anggota keluarga setelah bekerja, belajar ataupun beraktivitas. Kini pertemuan keluarga digantikan dengan televisi, Facebook, internet, Play Station, club-club hiburan, hotel, restoran dan lain-lain. Betapa kompleksnya kegiatan manusia itu, sehingga tidak heran jika hubungan keluarga menjadi sangat gampang hancur. Dan ini berarti potensi perceraian semakin besar. Maka tidak heranlah jika angka perceraian terus meningkat, itulah dampak kemajuan zaman yang tidak dapat dibendung.
Dari fakta tersebut, Gereja ditantang untuk kembali mengkaji ulang refleksi imannya terutama berkaitan dengan nilai-nilai perkawinan Kristiani. Mengenai inti hakekat perkawinan yang monogam dan tak terceraian itu, tentu saja sangat baik. Tetapi bagaimana dengan dampak pastoralnya? Misalnya dengan keluarga yang “gagal” membina hubungan keluarganya. Atau seorang istri yang dianiaya oleh suaminya, padahal perkawinan itu sudah ratum et consummatum. Apakah kita lebih memilih sang istri hidup dalam “dosa” padahal sebenarnya ini bukanlah kesalahan dia sepenuhnya? Memang pada prinsipnya, dalam hukum Gereja dikatakan bahwa perkawinan dapat dibubarkan jika terdapat halangan yang sungguh dapat menggagalkan perkawinan itu. Namun dalam prakteknya, pembubaran perkawinan sangatlah sulit, karena harus melalui jalur yang sangat berbelit-belit dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit.
Dalam hal ini penulis hanya ingin mengkritik kebijakan Gereja Katolik selama ini. Masalah perkawinan yang monogam dan tak terceraikan itu memang baik. Dan bahkan penulis sangat mendukungnya. Namun yang menjadi masalah adalah tentang kebijakan patoralnya. Memang dalam hal halangan nikah kodrati, itu tidak bisa diberi toleransi namun dalam halangan yang bersifat Gerejani sekiranya kebijakan-kebijakan pasroral yang menyesuaikan denga situasi, sangatlah memungkinkan. Dalam prakteknya terhadap halangan nikah Gerejani pun Gereja kadang sunguh sangat sulit memberi dispensasi.
Inilah probematika dan sekaligus tantangan perkawinan Katolik sekarang ini. Di satu sisi, Gereja harus tetap melindungi martabat perkawinan, tetapi di sisi lain juga harus tetap memperhatikan masalah pastoral perkawinan. Bagaimana pun yang menjadi hukum utama dalam hukum perkawinan adalah salus animarum, keselamatan jiwa-jiwa. Masalahnya adalah bagaimana mendamaikan kedua hal ini: hukum dan pastoral. Itulah sebabnya dibutuhkan suatu tindakan yang sungguh-sungguh bijak.


Penutup
Pada bagian pendahuluan makalah ini telah dipaparkan tentang tingginya kasus perceraian yang terjadi di Indonesia. Fakta ini sungguh sangat memprihatinkan. Bagaimana mungkin lembaga ilahi seperti perkawinan ini sampai-sampai dianggap seperti permainan saja. Memang tidak semua perceraian disebabkan oleh kasus ini. Tetapi, dapat dibuktikan bahwa tidak sedikit perceraian yang terjadi itu karena mereka sudah merasa bosan dengan pasangannya. Karena bosan, maka masalah-masalah sekecil apa pun yang muncul akhirnya bisa menyulut amarah rumah tangga yang berujung pada perceraian. Inilah realitas perkawinan saat ini. Nah, bagaimana sikap Gereja terhadap hal ini. Di satu sisi Gereja tidak bisa menutup mata terhadap hal seperti ini tetapi di sisi lain Gereja harus tetap mempertahankan ajaran imannya. Ini dari sisi Gereja.
Dari sisi pasangan suami istri atau para calon suami istri, bagaimana mereka menyikapi hal ini. Di satu sisi, berhadapan dengan relalitas dunia dan ajaran iman yang diimaninya. Mereka tahu bahwa tantangan hidup berkeluarga sungguh berat, tetapi di sisi lain mereka juga harus menyadari bahwa ajaran iman Katolik tetap menjunjung tinggi perkawinan yang bersifat monogam dan tak terceraikan. Perkawinan adalah suatu lembaga ilahi, maka perceraian tidak mungkin ada. Inilah tantangan berat yang harus dihadapi para pasangan suami istri
Namun jika mereka memang benar-benar konsisten pada pilihan dan janji mereka tentu saja perceraian juga tidak akan terjadi. Buktinya masih ada pasutri yang bisa mempertahankan perkawinan mereka sampai pesta emas perkawinan mereka. Nah, akhirnya sesunguhnya kekuatan atau kunci keberhasilan suatu keluarga terletak pada komitmen mereka berdua. Apakah mereka benar-benar kommit pada pilihan mereka. Apalagi jika pemahaman tentang perkawinan diletakkan dalam hubungan Kristus dan Gereja-Nya. Jika masing-masing pasangan sungguh menyadari hal ini, maka yakinlah perceraian tidak akan terjadi.







Daftar Pustaka

Go. P., O. Carm.,
1990, Pokok-Pokok Moral Perkawinan Keluarga Katolik, Dioma, Malang.
Groenen, OFM,
1993, Sakramen Sakramental, Antropologi dan sejarah Teologi, Sistematik, Spiritual, Pastoral, Kanisius, Yogyakarta.
Hardawiryana, R., S.J. (terj).,
1993, “Gaudium et Spes”, Dokumen Konsili Vatikan II, Obor, Jakarta.
Indrasanjaya,
2009, Diktat Nabi-Nabi, Fakultas Teologi wedabhakti.
Kitchen, K.A., BA, Phd.,
1993, “Kanaan”, dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, jilid I, Yayasan Bina Kasih, Jakarta.
Kusumawanta, D. G. B., Pr.,
2007, Analisis Yurudis “Bonum Coniugum” dalam Perkawinan Katolik, Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta.
Martasudjita, E., Pr.,
2003, Sakramen-Sakramen Gereja, tinjauan teologis liturgis dan pastoral, Kanisius, Yogyakarta.
Purwa Hadiwardoyo, Al., MSF.,
1988, Perkawinan dalam Tradisi Katolik, Kanisius,Yogyakarta.
Rubyatmoko, R.,
Diktat Hukum Perkawinan Katolik, Fakultas Teologi wedabhakti.
Rubiyatmoko, R.D.R., (ed).,
2006, Kitab Hukum Kanonik, edisi Resmi Bahasa Indoesia, KWI, Jakarta.
Syukur, D. N., OFM,
2004, Teologi Sistematika , Ekonomi Keselamatan, Kanisius, Yogyakara.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indononesia,
2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Empat, Gramedia, Jakarta.
Wahono, S. W., Ph.D.,
1981, Dua Studi tentang hubungan Tuhan dan Israel, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
hhtp//:google.com.

Sabtu, 20 Maret 2010

Rabu, 17 Maret 2010

Nasib kita....

Umat Kristen (Katolik), Nasibmu….


Oleh: Cornelius Timang

Beberapa bulan yang lalu saya mudik ke Makassar. Ini adalah kepulangan saya yang pertama setelah dua tahun lebih meninggalkan kota Daeng. Dalam jangka dua setengah tahun itu ternyata telah banyak perubahan yang terjadi. Pembangunan telah terjadi di mana-mana. Pusat-pusat perbelanjaan dan hiburan semakin banyak. Suasana jalan raya semakin padat, pembangunan jalan layang dan pusat hiburan Trans studio sudah ada. Semua ini adalah tanda kemajuan di bidang infrastruktur. Namun bagaimana dengan suprastruktur: sosial, budaya dan politik apakah juga sudah mengalami kemajuan?

Secara lahiriah mungkin kita bisa mengatakan bahwa saat ini bidang suprastuktur pun telah berkembang. Itu terbukti dengan munculnya berbagai universitas dan perguruan tinggi serta sekolah. Di bidang politik, kita dapat mengamati bahwa saat ini juga mulai bermunculan para politikus handal, caleg bahkan capres dari Makassar. Dari segi itu, kita juga masih bisa membenarkan bahwa kini Makassar memang mengalami kemajuan. Namun pendapat itu kemudian diragukan lagi ketika kita melihat bahwa ternyata Makassar banyak diwarnai oleh tawuran, demonstrasi yang berujung pada tindakan kriminal. Lihatlah di siaran-siaran TV, kita akan sangat gampang menjumpai tayangan yang memperlihatkan tawuran dan kriminalitas yang terjadi di Makassar. Belum lagi di bidang keimanan dan kepercayaan di mana ada usaha untuk menjadikan Makassar dan Sulawesi Selatan pada umumnya sebagai daerah yang bersyariat Islam. Jika melihat bidang pembangunan dan kemajuan ekonomi, Makassar dapat dijadikan sebagai cermin dan acuan pembangunan daerah di Indonesia. Tetapi jangan pernah menjadikan Makassar sebagai acuan atau contoh dalam hal toleransi dan dalam bidang keimanan dan kepercayaan.

Berhadapan dengan fakta terakhir ini, penulis memiliki keprihatinan yang sangat besar. Jika usaha itu berhasil – dan agaknya memang sudah hampir berhasil, bagaimana dengan pemeluk agama lain? Inilah tantangan berat yang harus kita hadapi semua. Bukan hanya umat, tetapi juga (bahkan paling berat) bagi para gembala umat.

Yang Kecil dan Kurang Dikenal

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa umat Katolik adalah kaum minoritas di Sulawesi Selatan. Berdasarkan data Survei Sosial dan Ekonomi Nasional tahun pada tahun 2000 umat Katolik di Sulawesi Selatan hanya 1,75%, Kristen Protestan 8,73%, Hindu 1,65%, Budha 0,41%, sementara agama Islam mencapai 87,46%. Dengan fakta ini tentu saja kita tidak dapat berharap banyak pada pemerintah, apalagi “orang-orang kita” sangat sedikit yang terlibat dalam pemerintahan. Tetapi lalu tidak berarti bahwa kita menjadi pesimis, dan tinggal diam saja. Atau hanya menunggu terjadinya mukjizat. Justru sebaliknya, karena minoritas, maka seharusnya kita berusaha memperdengarkan suara kita.

Usaha yang dilakukan sebagai gerakan bersama umat Katolik di Kevikepan Luwu pada awal tahun ini sebaiknya ditiru oleh umat Katolik di tempat lain. Umat Katolik di Kevikepan Luwu pada bulan Januari lalu telah mengadakan silaturahmi dengan pemerintah setempat. Ini adalah salah satu usaha untuk memperkenalkan keberadaan umat Katolik kepada pemerintah. Ada kecurigaan bahwa selama ini kita kurang dikenal oleh pemerintah mungkin karena memang kita kurang memperkenalkan diri.

Lihatlah misalnya ketika seorang pastor di sebuah paroki mendapat undangan dari pemerintah. Sangat sering kita menjumpai kesalahan pada penulisan nama pastor misalnya “Kepada yth. Pastor Petrus Claver dan Nyonya…” atau ada juga yang menulis “Kepada yth. Pendeta Petrus…” padahal yang dimaksud adalah Pastor Petrus, misalnya. Hal ini membuktikan bahwa memang kita kurang dikenal. Bagaimana kita bisa menyuarakan aspirasi kita jika kita sendiri tidak dikenal. Nah, jika kita sudah tidak dikenal apalagi jika kita hanya diam saja, mereka akan sangat mudah menggolkan keinginan mereka itu.

Dari beberapa tempat di Sulawesi Selatan, hanya kabupaten Toraja sajalah yang belum mereka kuasai. Ini disebabkan karena mayoritas penduduknya masih beragama Kristen. Tetapi sampai kapan Toraja bisa bertahan, dan tetap bisa membendung usaha tersebut. Apalagi dengan adanya pemilihan caleg dan bupati dalam waktu dekat ini. Bisa saja mereka menggunakan politik sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu. Selain itu jalan empuk yang bisa mereka tempuh dan sudah mulai kelihatan adalah melalui bidang ekonomi, perdagangan dan perkawinan dengan penduduk setempat. Jika tujuan terakhir ini tercapai, maka otomatis akan terjadi pemberlakuan syariat Islam di Sulawesi Selatan.

Saat ini usaha untuk mencapai hal itu sudah sangat marak dilakukan. Dan ternyata memang sudah ada suatu gerakan yang berusaha untuk mencapai tujuan itu. Gerakan itu disebut KPPSI, Komite Persiapan Pergerakan Syariat Islam. Gerakan ini dibentuk pada tahun 2000 oleh para tokoh agama, tokoh intelektual dan para pemuda Islam. Tujuannya adalah untuk memperjuangkan cita-cita bersyariat Islam dalam negara, khususnya di Sulawesi Selatan. Gerakan ini lebih banyak melibatkan kaum muda bahkan sampai 24.000 pemuda. Dan memang hanya dalam waktu 6 bulan setelah pendiriannya, KPPSI telah berhasil masuk ke seluruh kabupaten dan kota di Sulsawesi Selatan, kecuali Toraja dan Sinjai. (Pembahasan tentang KPPSI ini secara menyeluruh diuraikan dalam buku Demi Ayat Tuhan, Upaya KPPSI Menegakkan Syariat Islam, yang dikarang oleh Andi Muawiyah Ramly).

Sebenarnya faktor utama yang mendorong perjuangan KPPSI secara politik adalah dilatarbelakangi oleh fakta sejarah. Sejak dahulu kala, kerajaan besar di Sulawesi Selatan seperti Gowa, Bone, Luwu, Wajo dan Mandar pernah menjadikan agama Islam sebagai agama kerajaan mereka. Kenangan manis akan masa lalu ini kemudian ingin diperjuangkan kembali. Selain itu adanya keyakinan bahwa pemberlakuan Syariat Islam adalah solusi terbaik terhadap kondisi masyarakat sekarang ini yang bobrok di mana terjadi kemiskinan, kesenjangan sosial, ketidakamanan, terorisme, peperangan dan yang paling penting adalah untuk membentengi diri terhadap pengaruh kebudayaan Barat. Dan yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa Islam sebagai agama yang sebagian besar dianut oleh masyarakat Sulawesi Selatan juga sebagai faktor pemicunya. Selain itu letak geografis Sulawesi Selatan yang sangat strategis semakin meningkatkan usaha mereka untuk menjadikannya sebagai daerah yang bersyariat Islam, bahkan dikatakan bahwa Makassar akan dijadikan sebagai Serambi Madinah (sebutan ini sebagai julukan yang mirip dengan Serambi Mekkah untuk Aceh). Artinya Makassar akan dijadikan sebagai pusat Islam di Asia Tenggara.

Syariat Islam yang diperjuangkan oleh KPPSI nantinya akan mengatur seluruh aspek kehidupan, baik yang berkenaan dengan masalah privat maupun publik. Diantaranya adalah 1) penyelenggaraan kehidupan beragama, 2) penyelenggaraan kehidupan adat-istiadat, 3) penyelenggaraan bidang pendidikan, 4) penyelenggaraan bidang ekonomi dan perdagangan, dan 5) penyelenggaraan mahkamah syariah, serta 6) peran dan kedudukan ulama dalam pemerintahan.

Bidang keagamaan yang dimaksud adalah memakai jilbab atau penutup aurat dan kewajiban shalat dan berjamaah bagi kaum muslim. Bidang adat-istiadat yaitu memperjuangkan agar adat lokal tumbuh dan berkembang tidak bertentangan dengan agama Islam. Bidang pendidikan yaitu menggagas kurikulum pendidikan yang sejalan dengan yang digariskan oleh Al-Quran. Para siswa harus berbusana Islami dan dan harus bisa baca tulis huruf Arab (Al-Quran). Mahkamah syariah yang dimaksud adalah semacam lembaga yang mengatur dan menghukum orang yang melanggar Syariat Islam. Dan para ulama diberikan tempat terhormat dalam pemerintahan.

Suara Kaum Minoritas

Jika memang usaha mereka tercapai, bagaimana dengan nasib kita orang non-Islam. Memang dikatakan bahwa syariat Islam itu hanya akan diberlakukan kepada orang yang beragama Islam saja. Tetapi kita harus kritis, apakah mungkin hukum yang berlaku di suatu daerah diberlakukan secara diskriminatif? Misalnya ketika ada seorang non-Islam yang kedapatan mencuri, apakah tangannya akan langsung dipenggal sebagaimana yang termuat dalam hukum Syariat Islam. Bahwa syariat Islam itu hanya diperuntukkan bagi yang beragama Islam, pada awalnya mungkin masih akan berjalan sebagaimana mestinya, tetapi setelahnya, siapa yang tahu. Masyarakat non-Islam juga tidak akan bebas lagi menjalankan kegiatan keagamaannya sebebas ketika syariat Islam belum berlaku. Demikian juga dalam bidang pemerintahan, orang-orang non-Islam pasti akan sulit untuk ikut berpartisipasi dalam kancah pemerintahan.

Sebagai umat Katolik, khususnya umat yang berada di KAMS bagaimana kita menyikapi hal ini? Tentu saja kita tidak boleh hanya diam. Sebagai kaum minoritas kita harus bersuara dan memberikan aspirasi kita. Karena itu beberapa hal yang mungkin bisa kita lakukan adalah pertama, kita harus berani mengakui kekatolikan kita. Dan yang lebih penting dari itu adalah menunjukkan jati diri kita sebagai orang katolik. Selain itu berani dan semakin sering memperkenalkan diri khususnya kepada pemerintah setempat, bahwa ternyata kita juga adalah warga masyarakat setempat. Menulis opini di koran atau majalah lokal ataupun media lain juga akan sangat membantu.

Kedua, para tokoh agama dan pemimpin umat harus bisa membaca situasi untuk berdialog. Dalam hal ini juga harus mampu memiliki kecakapan dalam melakukan negoisasi dengan pemerintah setempat menyangkut Gereja dan umat setempat. Ketiga, pendidikan dan pendampingan melalui keluarga juga sangat penting. Keluarga-keluarga Katolik sebaiknya menumbuhkan iman yang kuat dalam diri seluruh anggota keluarga, agar tidak mudah melepaskan imannya, khususnya yang akan membentuk keluarga baru. Keempat, jangan terlalu gampang menjual tanah miliknya khususnya yang berada pada daerah-daerah strategis, misalnya di pusat-pusat keramaian dan di dekat tempat ibadah. Juga harus berhati-hati meminjam atau mengambil modal usaha dari orang yang tidak di kenal. Karena salah satu jalan yang juga mereka pakai adalah melalui bidang ekonomi.

Akhirnya memang masa depan umat Kristen (Katolik) dan umat non-Islam di Sulawesi Selatan akan sangat banyak bergantung pada kebijakan pemerintah setempat. Kita hanya berharap agar jika Syariat Islam berlaku di Sulawesi Selatan kepentingan kaum minoritas masih akan tetap diperhatikan. Tetapi jika sekiranya bisa, semoga kita hidup saja seperti sekarang ini. Pemberlakuan suatu hukum agama dalam suatu daerah yang pluralis sebenarnya bukanlah suatu langkah yang tepat. Dan kita kemudian bertanya: apakah memang Syariat Islam akan menjadi solusi terbaik?