Sabtu, 20 Maret 2010

Rabu, 17 Maret 2010

Nasib kita....

Umat Kristen (Katolik), Nasibmu….


Oleh: Cornelius Timang

Beberapa bulan yang lalu saya mudik ke Makassar. Ini adalah kepulangan saya yang pertama setelah dua tahun lebih meninggalkan kota Daeng. Dalam jangka dua setengah tahun itu ternyata telah banyak perubahan yang terjadi. Pembangunan telah terjadi di mana-mana. Pusat-pusat perbelanjaan dan hiburan semakin banyak. Suasana jalan raya semakin padat, pembangunan jalan layang dan pusat hiburan Trans studio sudah ada. Semua ini adalah tanda kemajuan di bidang infrastruktur. Namun bagaimana dengan suprastruktur: sosial, budaya dan politik apakah juga sudah mengalami kemajuan?

Secara lahiriah mungkin kita bisa mengatakan bahwa saat ini bidang suprastuktur pun telah berkembang. Itu terbukti dengan munculnya berbagai universitas dan perguruan tinggi serta sekolah. Di bidang politik, kita dapat mengamati bahwa saat ini juga mulai bermunculan para politikus handal, caleg bahkan capres dari Makassar. Dari segi itu, kita juga masih bisa membenarkan bahwa kini Makassar memang mengalami kemajuan. Namun pendapat itu kemudian diragukan lagi ketika kita melihat bahwa ternyata Makassar banyak diwarnai oleh tawuran, demonstrasi yang berujung pada tindakan kriminal. Lihatlah di siaran-siaran TV, kita akan sangat gampang menjumpai tayangan yang memperlihatkan tawuran dan kriminalitas yang terjadi di Makassar. Belum lagi di bidang keimanan dan kepercayaan di mana ada usaha untuk menjadikan Makassar dan Sulawesi Selatan pada umumnya sebagai daerah yang bersyariat Islam. Jika melihat bidang pembangunan dan kemajuan ekonomi, Makassar dapat dijadikan sebagai cermin dan acuan pembangunan daerah di Indonesia. Tetapi jangan pernah menjadikan Makassar sebagai acuan atau contoh dalam hal toleransi dan dalam bidang keimanan dan kepercayaan.

Berhadapan dengan fakta terakhir ini, penulis memiliki keprihatinan yang sangat besar. Jika usaha itu berhasil – dan agaknya memang sudah hampir berhasil, bagaimana dengan pemeluk agama lain? Inilah tantangan berat yang harus kita hadapi semua. Bukan hanya umat, tetapi juga (bahkan paling berat) bagi para gembala umat.

Yang Kecil dan Kurang Dikenal

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa umat Katolik adalah kaum minoritas di Sulawesi Selatan. Berdasarkan data Survei Sosial dan Ekonomi Nasional tahun pada tahun 2000 umat Katolik di Sulawesi Selatan hanya 1,75%, Kristen Protestan 8,73%, Hindu 1,65%, Budha 0,41%, sementara agama Islam mencapai 87,46%. Dengan fakta ini tentu saja kita tidak dapat berharap banyak pada pemerintah, apalagi “orang-orang kita” sangat sedikit yang terlibat dalam pemerintahan. Tetapi lalu tidak berarti bahwa kita menjadi pesimis, dan tinggal diam saja. Atau hanya menunggu terjadinya mukjizat. Justru sebaliknya, karena minoritas, maka seharusnya kita berusaha memperdengarkan suara kita.

Usaha yang dilakukan sebagai gerakan bersama umat Katolik di Kevikepan Luwu pada awal tahun ini sebaiknya ditiru oleh umat Katolik di tempat lain. Umat Katolik di Kevikepan Luwu pada bulan Januari lalu telah mengadakan silaturahmi dengan pemerintah setempat. Ini adalah salah satu usaha untuk memperkenalkan keberadaan umat Katolik kepada pemerintah. Ada kecurigaan bahwa selama ini kita kurang dikenal oleh pemerintah mungkin karena memang kita kurang memperkenalkan diri.

Lihatlah misalnya ketika seorang pastor di sebuah paroki mendapat undangan dari pemerintah. Sangat sering kita menjumpai kesalahan pada penulisan nama pastor misalnya “Kepada yth. Pastor Petrus Claver dan Nyonya…” atau ada juga yang menulis “Kepada yth. Pendeta Petrus…” padahal yang dimaksud adalah Pastor Petrus, misalnya. Hal ini membuktikan bahwa memang kita kurang dikenal. Bagaimana kita bisa menyuarakan aspirasi kita jika kita sendiri tidak dikenal. Nah, jika kita sudah tidak dikenal apalagi jika kita hanya diam saja, mereka akan sangat mudah menggolkan keinginan mereka itu.

Dari beberapa tempat di Sulawesi Selatan, hanya kabupaten Toraja sajalah yang belum mereka kuasai. Ini disebabkan karena mayoritas penduduknya masih beragama Kristen. Tetapi sampai kapan Toraja bisa bertahan, dan tetap bisa membendung usaha tersebut. Apalagi dengan adanya pemilihan caleg dan bupati dalam waktu dekat ini. Bisa saja mereka menggunakan politik sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu. Selain itu jalan empuk yang bisa mereka tempuh dan sudah mulai kelihatan adalah melalui bidang ekonomi, perdagangan dan perkawinan dengan penduduk setempat. Jika tujuan terakhir ini tercapai, maka otomatis akan terjadi pemberlakuan syariat Islam di Sulawesi Selatan.

Saat ini usaha untuk mencapai hal itu sudah sangat marak dilakukan. Dan ternyata memang sudah ada suatu gerakan yang berusaha untuk mencapai tujuan itu. Gerakan itu disebut KPPSI, Komite Persiapan Pergerakan Syariat Islam. Gerakan ini dibentuk pada tahun 2000 oleh para tokoh agama, tokoh intelektual dan para pemuda Islam. Tujuannya adalah untuk memperjuangkan cita-cita bersyariat Islam dalam negara, khususnya di Sulawesi Selatan. Gerakan ini lebih banyak melibatkan kaum muda bahkan sampai 24.000 pemuda. Dan memang hanya dalam waktu 6 bulan setelah pendiriannya, KPPSI telah berhasil masuk ke seluruh kabupaten dan kota di Sulsawesi Selatan, kecuali Toraja dan Sinjai. (Pembahasan tentang KPPSI ini secara menyeluruh diuraikan dalam buku Demi Ayat Tuhan, Upaya KPPSI Menegakkan Syariat Islam, yang dikarang oleh Andi Muawiyah Ramly).

Sebenarnya faktor utama yang mendorong perjuangan KPPSI secara politik adalah dilatarbelakangi oleh fakta sejarah. Sejak dahulu kala, kerajaan besar di Sulawesi Selatan seperti Gowa, Bone, Luwu, Wajo dan Mandar pernah menjadikan agama Islam sebagai agama kerajaan mereka. Kenangan manis akan masa lalu ini kemudian ingin diperjuangkan kembali. Selain itu adanya keyakinan bahwa pemberlakuan Syariat Islam adalah solusi terbaik terhadap kondisi masyarakat sekarang ini yang bobrok di mana terjadi kemiskinan, kesenjangan sosial, ketidakamanan, terorisme, peperangan dan yang paling penting adalah untuk membentengi diri terhadap pengaruh kebudayaan Barat. Dan yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa Islam sebagai agama yang sebagian besar dianut oleh masyarakat Sulawesi Selatan juga sebagai faktor pemicunya. Selain itu letak geografis Sulawesi Selatan yang sangat strategis semakin meningkatkan usaha mereka untuk menjadikannya sebagai daerah yang bersyariat Islam, bahkan dikatakan bahwa Makassar akan dijadikan sebagai Serambi Madinah (sebutan ini sebagai julukan yang mirip dengan Serambi Mekkah untuk Aceh). Artinya Makassar akan dijadikan sebagai pusat Islam di Asia Tenggara.

Syariat Islam yang diperjuangkan oleh KPPSI nantinya akan mengatur seluruh aspek kehidupan, baik yang berkenaan dengan masalah privat maupun publik. Diantaranya adalah 1) penyelenggaraan kehidupan beragama, 2) penyelenggaraan kehidupan adat-istiadat, 3) penyelenggaraan bidang pendidikan, 4) penyelenggaraan bidang ekonomi dan perdagangan, dan 5) penyelenggaraan mahkamah syariah, serta 6) peran dan kedudukan ulama dalam pemerintahan.

Bidang keagamaan yang dimaksud adalah memakai jilbab atau penutup aurat dan kewajiban shalat dan berjamaah bagi kaum muslim. Bidang adat-istiadat yaitu memperjuangkan agar adat lokal tumbuh dan berkembang tidak bertentangan dengan agama Islam. Bidang pendidikan yaitu menggagas kurikulum pendidikan yang sejalan dengan yang digariskan oleh Al-Quran. Para siswa harus berbusana Islami dan dan harus bisa baca tulis huruf Arab (Al-Quran). Mahkamah syariah yang dimaksud adalah semacam lembaga yang mengatur dan menghukum orang yang melanggar Syariat Islam. Dan para ulama diberikan tempat terhormat dalam pemerintahan.

Suara Kaum Minoritas

Jika memang usaha mereka tercapai, bagaimana dengan nasib kita orang non-Islam. Memang dikatakan bahwa syariat Islam itu hanya akan diberlakukan kepada orang yang beragama Islam saja. Tetapi kita harus kritis, apakah mungkin hukum yang berlaku di suatu daerah diberlakukan secara diskriminatif? Misalnya ketika ada seorang non-Islam yang kedapatan mencuri, apakah tangannya akan langsung dipenggal sebagaimana yang termuat dalam hukum Syariat Islam. Bahwa syariat Islam itu hanya diperuntukkan bagi yang beragama Islam, pada awalnya mungkin masih akan berjalan sebagaimana mestinya, tetapi setelahnya, siapa yang tahu. Masyarakat non-Islam juga tidak akan bebas lagi menjalankan kegiatan keagamaannya sebebas ketika syariat Islam belum berlaku. Demikian juga dalam bidang pemerintahan, orang-orang non-Islam pasti akan sulit untuk ikut berpartisipasi dalam kancah pemerintahan.

Sebagai umat Katolik, khususnya umat yang berada di KAMS bagaimana kita menyikapi hal ini? Tentu saja kita tidak boleh hanya diam. Sebagai kaum minoritas kita harus bersuara dan memberikan aspirasi kita. Karena itu beberapa hal yang mungkin bisa kita lakukan adalah pertama, kita harus berani mengakui kekatolikan kita. Dan yang lebih penting dari itu adalah menunjukkan jati diri kita sebagai orang katolik. Selain itu berani dan semakin sering memperkenalkan diri khususnya kepada pemerintah setempat, bahwa ternyata kita juga adalah warga masyarakat setempat. Menulis opini di koran atau majalah lokal ataupun media lain juga akan sangat membantu.

Kedua, para tokoh agama dan pemimpin umat harus bisa membaca situasi untuk berdialog. Dalam hal ini juga harus mampu memiliki kecakapan dalam melakukan negoisasi dengan pemerintah setempat menyangkut Gereja dan umat setempat. Ketiga, pendidikan dan pendampingan melalui keluarga juga sangat penting. Keluarga-keluarga Katolik sebaiknya menumbuhkan iman yang kuat dalam diri seluruh anggota keluarga, agar tidak mudah melepaskan imannya, khususnya yang akan membentuk keluarga baru. Keempat, jangan terlalu gampang menjual tanah miliknya khususnya yang berada pada daerah-daerah strategis, misalnya di pusat-pusat keramaian dan di dekat tempat ibadah. Juga harus berhati-hati meminjam atau mengambil modal usaha dari orang yang tidak di kenal. Karena salah satu jalan yang juga mereka pakai adalah melalui bidang ekonomi.

Akhirnya memang masa depan umat Kristen (Katolik) dan umat non-Islam di Sulawesi Selatan akan sangat banyak bergantung pada kebijakan pemerintah setempat. Kita hanya berharap agar jika Syariat Islam berlaku di Sulawesi Selatan kepentingan kaum minoritas masih akan tetap diperhatikan. Tetapi jika sekiranya bisa, semoga kita hidup saja seperti sekarang ini. Pemberlakuan suatu hukum agama dalam suatu daerah yang pluralis sebenarnya bukanlah suatu langkah yang tepat. Dan kita kemudian bertanya: apakah memang Syariat Islam akan menjadi solusi terbaik?