Selasa, 18 Mei 2010

perkawinan

“Perkawinan” Allah-Israel
Sebagai Dasar Perkawinan Katolik



Diajukan sebagai Tugas akhir Mata Kuliah Moral Keluarga
Tahun Ajaran 2009/2010

Oleh:
Cornelius Timang
FT. 3117

FAKULTAS TEOLOGI WEDABHAKTI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
Yogyakarta
2010


Pendahuluan
Dewasa ini tingkat perceraian di antara pasangan suami istri di Indonesia cukup tinggi. “Jumlah perceraian di Indonesia telah mencapai angka yang sangat fantastis. Tercatat, pada tahun 2007, sedikitnya 200 ribu pasangan melakukan pisah ranjang alias cerai. Meski angka perceraian di negara ini tidak setinggi di Amerika Serikat dan Inggris (mencapai 66,6% dan 50% dari jumlah total perkawinan), namun angka perceraian di Indonesia ini sudah menjadi rekor tertinggi di kawasan Asia Pasifik. Angka perceraian di Indonesia diprediksi oleh banyak pihak akan selalu meningkat tiap tahun” .
Mengapa angka perceraian itu terus meningkat? Salah satu penyebabnya adalah karena adanya perubahan nilai-nilai sosial yang sedang terjadi di tengah masyarakat Indonesia. Selain itu karena adanya perubahan budaya dan life style (gaya hidup) masyarakat. Bahkan akibat kemampuan ekonomi yang terus meningkat di kalangan kaum wanita, ikut mempengaruhi tingginya gugatan cerai yang diajukan istri terhadap suami. “Pada tahun 2000-an hanya 30 % perceraian karena suami yang menceraikan isterinya, sedangkan tahun 2005 ada 68, 5 % perceraian melalui cerai gugat, di mana isteri menggugat cerai suaminya” . Dan yang juga tidak dapat dilupakan adalah adanya dampak globalisai arus informasi melalui media massa yakni infotaimen yang menampilkan figur artis dengan bangga mengungkap kasus perceraiannya juga menjadi pemicunya. Betapa banyaknya angka perceraian ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak mengetahui lagi inti dan makna terdalam dari perkawinan itu.
Dari fakta di atas kita dapat bertanya: mengapa orang zaman sekarang sangat mudah mengadakan perceraian. Padahal ketika mereka akan melangsungkan pernikahan tentu saja mereka telah dibekali dengan berbagai pengetahuan sekitar perkawinan , misalnya tentang hakikat perkawinan, tujuan perkawinan, sifat perkawinan, konsekuensi perkawinan, dasar perkawinan, tanggung jawab menjadi ibu atau bapak, dan lain-lain. Bagi yang beragama Katolik akhirnya mereka bisa menerima sakramen perkawinan ketika mereka telah diandaikan lulus. Artinya mereka diandaikan sudah mengerti tentang perkawinan itu sendiri.
Kendatipun demikian, mengapa angka perceraian baik di kalangan masyarakat pada umumnya maupun umat Katolik masih tinggi? Mungkinkah karena pendidikan yang mereka terima dan penyelidikan kanonis yang dilakukan sebelum perkawinan itu belum mencukupi? Ataukah sebenarnya mereka sudah tahu tetapi belum memahami sesungguhnya hakikat perkawinan itu? Padahal jika kita melihat hakikat perkawinan adalah monogam dan takterceraikan. Artinya pasangan suami-istri harus setia pada pasangannya sampai akhir hayatnya. Dan dengan demikian perceraian tidak diperbolehkan.
Nah, pertanyaannya: mengapa perkawinan itu mesti tak terceraikan? Mengapa Gereja sangat menekankan adanya sifat monogam dan tak terceraikan? Sekiranya alasan klasik yang diberikan oleh Gereja adalah karena Allah sendirilah pencipta perkawinan itu . Karena Allah telah terlebih dahulu mengambil Israel sebagai “istri-Nya”. Kendatipun Israel tidak setia, namun Allah tetap setia. Hubungan Allah-Israel yang dianalogikan sebagai hubungan suami-istri ini didasarkan pada kisah nabi Hosea dengan Istrinya Gomer sang pelacur dalam kitab Hosea. Makalah ini akan membahas tentang tingginya nilai perkawinan Kristiani, yang didasarkan pada hubungan perkawinan Allah-Israel dalam Kitab Hosea.

Sejarah Perkawinan dalam Kitab Suci
Sebelum membahas tentang perkawinan itu sendiri, penulis ingin memaparkan sekilas tentang sejarah perkembangan perkawinan. Dengan pemaparan historis semacam ini diharapkan agar pembaca dapat menempatkan perkawinan itu dalam konteks perkembangan sejarahnya. Terutama ketika membahas tentang perkawinan sebagai hubungan Allah-Israel dalam Kitab Hosea.
Sejarah perkembangan perkawinan akan dimulai dari Perjanjian Lama. Peraturan tentang perkawinan dalam Perjanjian Lama semua termaktub dalam Torah atau kelima taurat Musa. Selain itu model atau contoh perkawinan nenek moyang bangsa Israel (Abraham, Ishak dan Yakub), juga memperngaruhi pemahaman mereka akan perkawinan. Dengan demikian hukum perkawinan bagi bangsa Israel adalah campuran antara “Hukum Adat” dengan Undang-undang formal .
Pada dasarnya umat Israel menilai perkawinan secara positif. Namun menjelang zaman Perjanjian Baru, mulai muncul suatu tendensi anti seksualitas dan anti perkawinan. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya pengaruh asing. Memang nabi Yeremia melarang umat Israel untuk menikah dalam Yer. 16:2, tetapi larangan itu sebenarnya tidak bersangkut-paut dengan suatu sikap negatif terhadap seksualitas dan perkawinan. Sebenarnya nubuat Yeremia itu ingin mengatakan tentang kehancuran Israel / Yehuda yang tidak setia pada perjanjian .
Mari kita lihat sedikit tentang sejarah perkembangan Perkawinan dalam Kitab Suci . Mulai dari kitab Kejadian 1:26-28. Dalam bab pertama Kitab Kejadian ini, hakikat perkawinan menurut pengarang adalah persatuan antara seorang pria dan seorang wanita, yang diberkati oleh Allah sendiri dan diberi tugas bersama olehNya untuk meneruskan generasi manusia serta memelihara dunia. Kejadian 2:18-25, menekankan bahwa tujuan unitif perkawinan adalah kesatuan erat antara suami-istri itu sendiri. Sementara Kitab Tobit 6-8, mengatakan bahwa hakikat perkawinan adalah kesatuan erat antara seorang pria dan wanita yang sudah ditentukan oleh Allah sendiri, berdasarkan cinta kasih dan ketulusan hati yang diawali dengan suatu peresmian hukum yang berlaku serta perayaan yang melibatkan seluruh keluarga. Kitab Maleaki 2, menyatakan bahwa perkawinan itu berciri prokreatif dalam arti yaang sekaligus religius: perkawinan antara orang-orang Yudea diharapkan menurunkan anak-anak bagi Allah. Karena itu perceraian dan perkawinan dengan menyembah dewa-dewi akan mengecewakan harapan itu.
Selanjutnya dalam kitab Hosea 1-3, mengatakan bahwa perkawinan harus berciri setia sepenuh-penuhya. (Pembahasan lebih lanjut dalam tentang Kitab Hosea ini akan dibahas dalam sub bab berikutya). Dalam Kidung Agung ditunjukkan tentang segi manusiawi dari cinta antara pria dan wanita yang siap menjadi suami-istri. Amsal 5-6 dan 31, ingin mengatakan bahwa perkawinan yang baik harus mempunyai ciri setia dan total.
Sekarang marilah kita lihat dalam Perjanjian Baru. Matius 19 dan Markus 10 mengemukakan tentang pendapat Yesus akan Perkawinan. Di sana dikatakan bahwa perkawinan adalah kesatuan erat antara seorang pria dan seorang wanita yang dipersatukan oleh Allah sendiri sedemikian erat sehingga keduanya bukan lagi dua melainkan satu. Efesus 5, megemukakan tentang pandangan Paulus akan perkawinan. Dari pasal itu dapat disimpulkan bahwa perkawinan Kristen merupakan lambang dari hubungan Kristus dan Gereja. Dan pandangan terakhir dalam Kitab Suci adalah dalam I Korintus 7. Di sana secara implisit dikatakan bahwa perkawinan adalah kesatuan erat antara seorang pria dan wanita yang memberikan kepada keduanya hak prerogatif atas hubungna seksual dengan patnernya dan menjauhkan keduaya dari bahaya percabulan.
Dari keseluruhan penjelasan tentang Perkawinan di atas sekiranya pembahasan dalam Kitab Hosea 1-3 menjadi menarik untuk disimak. Yang menarik dari pandangan Hosea ini adalah pengarang menempatkan hubungan suami istri dalam kaitannya dengan TUHAN. Dan sebenarnya inilah yang menjadi alasan klasik yang biasa diungkapkan Gereja berkaitan dengan perkawinan yang tidak terceraikan itu. Memang selain dalam Kitab Hosea, hal ini juga dikatakan dalam Efesus 5, di mana Paulus menempatkan hakikat perkawinan dalam hubungannya dengan Allah. Namun makalah ini hanya akan membahas kitab Hosea sebagai salah satu dasar perkawinan Katolik yang monogam dan takterceraikan.

Kitab Hosea
Berbicara mengenai kitab Hosea, asumsi kebanyakan orang akan langsung mengingat tentang perkawinan antara nabi dengan seorang sundal. Nabi diperintahkan oleh TUHAN untuk mengambil perempuan sundal itu, Gomer bin Diblaim, menjadi istrinya. Ketika TUHAN mulai berbicara dengan perantaraan Hosea, berfirmanlah Ia kepada Hosea: "Pergilah, kawinilah seorang perempuan sundal dan peranakkanlah anak-anak sundal, karena negeri ini bersundal hebat dengan membelakangi TUHAN” (Hos. 1:2).
Jika kita memperhatikan perintah ini, pertanyaan yang dapat muncul adalah: mengapa TUHAN memerintahkan Nabi untuk mengawini perempuan sundal. Tidakkah hal ini bertentangan dengan hukum taurat? Dari peristiwa ini seakan-akan TUHAN mendukung perzinahan dan persundalan . Dalam kitab Hosea, kedua istilah tersebut “Perzinahan” dan “Persundalan” dipakai dalam dua arti yang berbeda yaitu secara harafiah dan kiasan. Secara harafiah berarti melakukan hubungan seksual di luar nikah atau dengan pasangan lain. Dan dalam arti kiasan biasa dipakai dalam lingkup politik yang berhubungan dengan bangsa-bangsa lain atau dalam lingkup religius yaitu mengikuti allah-allah lain .
Dan bila kita mengamati teks Hosea, istilah “perzinahan” dan “persundalan” dipakai bersamaan, secara harafiah dan secara kiasan. Artinya, Nabi Hosea memang melihat bahwa realitas perzinahan dan pesundalan merupakan suatu tren dalam masyarakat. Bahkan dia sendiri mengalaminya dalam keluarganya, di mana Gomer istrinya adalah seorang pezinah, bahkan pelacur. Selain itu ada juga kecurigaan bahwa masyarakat Israel melakukan perzinahan dengan allah-allah lain (sinkretisme).
Dikatakan berzinah dengan allah lain karena pada saat itu, orang Israel mensinkretiskan kepercayaan pada TUHAN dengan agama Kanaan . Dan kepercayaan dalam agama Kanaan yang bertentangan dengan Taurat (UL. 23:17) adalah pelacuran suci. Misalnya untuk mendatangkan hujan maka manusia harus melakukan upacara-upacara bakti dengan berhubungan seksual di bumi agar Dewa Kesuburan menurunkan hujan. Apa yang dipraktekkan oleh penganut agama Kanaan ini ternyata menarik hati orang Israel. Karena agama Kanaan lebih menjanjikan di bidang pertanian maupun dalam bidang keamanan. Akibatnya, tidak sedikit orang Israel yang melakukan dan mengikuti ritual agama Kanaan. Bahkan istri Hosea sendiri adalah pelacur bakti atau Qodashot .
Berhadapan dengan realitas tersebut, Nabi ingin menyampaiakan kritikannya. Dalam menyampaikan kritikannya, Hosea memanfaatkan berbagai macam gaya sastra misalnya bahasa pengadilan, metafor perkawinan ataupun metafor hubungan orang tua dan anak . Dari semua gaya bahasa yang digunakan itu, yang peling terkenal dari Hosea adalah (analogi) perkawinannya dengan Gomer. Nah pertanyaanya adalah apakah perkawinan Hosea ini sungguh menceritakan suatu fakta atau merupakan fiksi?
Memang ada perdebatan di sekitar masalah ini. Para ahli ada yang mengatakan bahwa peristiwa perkawinan Hosea-Gomer tidak sesuai dengan moralitas. Karena itu peristiwa ini hanya terjadi dalam penglihatan, atau mimpi atau bahkan hanya sebagai suatu alegori atau perumpamaan . Namun ada pula yang mengatakan bahwa peristiwa tersebut adalah suatu kejadian yang sungguh-sungguh terjadi. Alasannya adalah karena memang tidak ada petunjuk yang mengindikasikan bahwa peristiwa itu hanya terjadi dalam mimpi. Alasan kedua adalah karena nama Gomer tidak mempunyai makna simbolis. Ketiga, suatu keanehan jika Hosea menceritakan sesuatu yang tidak benar terjadi. Keempat, pengalaman perkawinan dengan seorang sundal, justru memperkuat pewartaan Hosea. Dia sendiri mengalami apa yang dialami oleh TUHAN dalam hubungannya dengan Israel . Inilah gambaran Israel dalam hubungannya dengan TUHAN di mana Israel kadang tidak setia. Bangsa Israel adalah “istri” yang tidak setia. Namun TUHAN adalah “suami” yang tetap setia.
Jika kita memperhatikan keseluruhan kitab Hosea, sikap Israel terhadap TUHAN sangat tidak konsisten, kadang setia tetapi lebih sering tidak setianya. Awalnya bangsa Israel melakukan yang jahat di hadapan TUHAN yang digambarkan dengan keluarga Hosea yang tidak setia (Hos 1:2-9), kemudian TUHAN memberikan janji keselamatan kepada Israel (1:10-12), lalu Israel diterima kembali (3:1-5), tetapi kemudian para imam dan bangsa Israel tidak setia lagi (4:1-12). Karena tidak setia, maka akhirnya TUHAN mengancam Israel dan pemimpin-pemimpinnya (5:1-7), kemudian Israel mencari pertolongan di mana-mana tetapi sia-sia (5:8-14). Karena tidak menjumpai penolong dapat dijadiakan andalan melebihi TUHAN, Israel kemudian bertobat, tetapi hanya pura-pura (5:15-6:6) dan pada bab selanjutnya diperlihatkan tentang akibat yang ditimbulkan oleh dosa Israel (7:3-10:8). Pada bab 10:9-15 dikatakan bahwa TUHAN kecewa tetapi akhirnya hukuman yang dirancangkan TUHAN itu tidak jadi terlaksana, TUHAN justru mengasihi Israel.
Jika digambarkan secara singkat, dinamika hubungan TUHAN-Israel adalah: Israel berdosa  TUHAN mengampuni  Israel berdosa lagi  TUHAN mengampuni  Israel berdosa lagi  akhirnya TUHAN akan merancangkan hukuman pada Israel karena TUHAN sudah mulai muak terhadap mereka, bahkan Dia ingin mendatangkan perang di mana tidak satu pun dari mereka yang akan telepas dari pedang. Tetapi akhirnya hukuman itu tidak jadi dilaksanakan.
Dari dinamika hubungan Allah-Israel ini, maka sungguh benarlah gambaran Hosea tentang persundalan. Israel sebagai “Wanita sundal” sungguh tidak setia pada “suami”nya TUHAN. Ketika terjadi persundalan atau perzinahan oleh istri, maka sang suami sebenarnya memiliki hak untuk menceraikan istrinya jika dia mau. Kendatipun demikian, TUHAN tidak menceraikan Israel, namun justru Dia tetap mencintai Israel dan setia pada Israel. Oleh karena itu, jika sekarang Gereja Katolik menyatakan bahwa hakikat perkawinan adalah monogam dan tak tereraikan, sebenarnya hal ini memiliki pendasaran yang sangat kuat. Allah sendiri tetap mencintai Israel kendatipun dia tidak setia. Maka itu perkawinan Katolik pun seharusnya dilihat dalam kerangka ini. “Perkawinan adalah persekutuan hidup dan kasih suami istri yang mesra yang diadakan oleh sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumNya...sebab seperti dulu Allah menghampiri bangsaNya dengan perjanjian kasih dan kesetiaan, demikian pula sekarang Penyelamat umat mausia memperlai Gereja...” .

Allah Sebagai Asal Perkawinan
Di atas telah dijelaskan secara sekilas tentang sejarah Perkawinan dalam Kitab Suci. Jika disimak secara saksama, kita dapat mengatakan bahwa seluruh tradisi perkawinan ternyata mengalami perkembangan. Tetapi sejak Kej. 1-2, sudah dikatakan bahwa perkawinan selalu dihubungkan dengan Allah Pencipta.
Hal itu ditegaskan kembali dalam Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes artikel 48: Allah pencipta mendirikan perkawinan dan melengkapiNya dengan hukum-hukumNya dan mengaturNya. Dengan mengembalikan perkawinan kepada Allah Pencipta, tradisi KV II menilai perkawinan sebagai suatu yang pada prinsipnya baik dan termasuk ke dalam tata penciptaan sebagaimana dikehendaki Allah pencipta. Pada prinsipnya Konsili melihat bahwa perkawinan itu bernilai positif.
Memang sejak awal, Allah tidak pernah menurunkan suatu hukum tentang perkawinan itu, tetapi Allah Pencipta melandaskan atau bahkan dapat dikatakan mendirikan perkawinan manusia. Hal itu didasarkan pada Kej. 1-2 . Dengan kata lain kita dapat mengatakan bahwa perkawinan itu adalah rencana Allah. Karena pada awalnya pria dan wanita diciptakan satu untuk yang lain (Kej. 2:18) sebagai patner yang sederajat dalam persekutuan hidup dan cinta kasih yang disebut perkawinan. “Manusia yang karena cinta diciptakan Tuhan menurut citraNya sendiri diciptakanNya sebagai pria dan wanita. Dan Tuhan yang adalah cinta memanggil manusia untuk saling mencinta” . Namun memang kita dapat mengatakan bahwa teks tersebut bukanlah suatu kesaksian atau laporan saksi mata, melainkan suatu refleksi atas pengalaman dari mereka yang percaya kepada Allah Israel yang menciptakan manusia sebagaimana adanya. Tetapi dari hal seperti inilah kita dapat melihat betapa luhur dan mulianya perkawinan itu.
Keagungan dan keluhuran perkawinan itu juga dikatakan dengan jelas dalam Kitab Hukum Kanonik. Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen . Kanon ini mengartikan perkawinan sebagai suatu perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita, untuk membentuk kebersamaan seluruh hidup. Melihat definisi ini ternyata memiliki kesamaan dalam Gaudium et Spes artikel 48, yaitu memandang perkawinan sebagai suatu perjanjian, dan bukan sebagai suatu kontrak . Kedua hal ini: perkawinan sebagai sebuah “perjanjian” dan perkawinan sebagai sebuah “kontrak” ternyata memiliki implikasi yang sangat besar bagi pemahaman perkawinan.
Jika perkawinan hanya dipandang sebagi sebuah kontrak artinya bahwa perkawinan hanya dilihat sebagai sebuah persetujuan antara dua atau beberapa orang yang saling mewajibkan diri untuk saling memberikan, melakukan atau menghindarkan sesuatu . Jadi kesannya perkawinan terlihat seperti dipaksakan. Dan dalam perkawinan seakan-akan terdapat sebuah jangka waktu yang telah disepakati bersama. Jika jangka waktu itu sudah habis, maka kontrak itu akan habis pula. Berbeda jika dikatakan bahwa perkawinan sebagai sebuah “perjanjian”. Artiya ada sebuah kesepakatan antara kedua pihak. Dan kesepakatan itu sifatnya lebih bebas dan personal. Jadi dengan mengatakan bahwa perkawinan sebagai sebuah perjanjian dan bukan lagi sebuah kontrak, sebenarnya Gereja ingin menekankan dimensi personalnya dari pada dimensi institusional.
Kendatipun istilah “kontrak” tidak lagi digunakan, namun Gereja tidak menolak hakikat perkawinan sebagai sebuah kontrak. (Tetapi “kontrak” dalam hal ini diartikan sebagai kesepakatan atau pejanjian). Karena di dalam perkawinan itu sendiri unsur kontrak masih ada. Misalnya dalam forma perkawinan dikatakan bahwa perkawinan sebagai kesepakatan pribadi antara seorang pria dan wanita. Objek perkawian: kebersamaan seluruh hidup, dan akibatnya: hak atas persetubuhan dan atas kebersamaan seluruh hidup.
Dari kanon 1055 di atas, dengan jelas dikatakan bahwa perjanjian (foedus) perkawinan...antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen. Apa konsekuensinya jika dikatakan bahwa perkawinan adalah sebuah sakramen? Konsekuensinya adalah bahwa ikatan atau perjanjian mereka itu bukanlah perjanjian biasa tetapi suatu simbol yang menghadirkan kasih dan kesetiaan Allah sendiri kepada umatNya. Pesekutuan yang dibentuk oleh perkawinan menandakan hubungan yang tak terpisahkan antara Allah dan umat-Nya. “Itulah sebabnya kita dapat memahami mengapa perkawinan dijadikan simbol relasi TUHAN dengan umatNya Israel . Dalam Gereja Katolik perkawinan yang sah dan sakramen yang dilangsungkan antara dua orang yang telah dibaptis dan dilaksanakan sesuai dengan norma-norma kanonika disebut perkawinan ratum. Sementara perkawinan yang sah dan sakramen yang sudah disempurnakan dengna pesetubuhan suami isti disebut perkawinan yang ratum et consummatum.

Hakikat dan Tujuan perkawinan Katolik
Hakikat perkawinan Katolik akhirnya dapat ditarik dari prinsip dasar di atas: perkawinan sebagai hubungan Allah-Manusia . Oleh karena itu, hakikat perkawinan Katolik adalah monogam (unitas) dan takterceraikan (indisolubilitas). Yang dimaksud dengan monogam adalah bahwa perkawinan hanya sah jika dilaksanakan hanya antara seorang pria dan seorang wanita. Dan yang dimaksud takterceraikan adalah bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah menurut tuntutan hukum, mempunyai akibat tetap dan tidak bisa diceraikan atau diputuskan . Jadi tanggung jawab atau kewajiban serta larangan yang dikaitkan dengan monogami didasarkan atas makna dan nilai-nilai perkawinan itu sendiri, dan bukanlah melulu perintah dan larangan tanpa dasar . Sementara ketakterceraian perkawinan Katolik didasarkan pada makna perkawinan sebagai persekutuan antar pribadi senasib seluruh hidup seutuhnya. Selain itu pendasaran lainnya adalah karena adanya konsekuensi negatif yang ditimbulkan oleh perceraian, baik bagi suami atau istri sendiri, anak-anak maupun masyarakat.
Sekiranya hubungan perkawinan suami-istri yang monogam dan takterceraikan itu mendapat pendasaran dari kasih perkawinan Allah-Israel. Sebagaimana perkawinan Allah-Israel, kendatipun Israel tidak setia, namun Allah tetap setia. Kesetiaan Allah pada Israel yang tidak setia itu, tentu saja didasari oleh kasih atau cinta yang total dan sungguh-sungguh. Seandainya Allah tidak mencintai dan mengasihi Israel sebagai istrinya, mana mungkin Dia masih menaruh belaskasihan padanya. Oleh karena itu intisari moral perkawinan Katolik adalah Kasih .
Jika dikatakan bahwa intisari moral perkawinan Katolik adalah kasih, berarti perkawinan yang tidak didasari kasih bukanlah perkawinan yang bermoralkan Katolik. Memang akhirnya di dalam moral Katolik dikatakan bahwa kasih adalah syarat utama terbentuknya suatu persekutuan seorang laki-laki dan seorang perempuan. Namun seberapa besarkah kasih yang harus dimiliki oleh pasangan suami-istri? Gereja akhirnya memberikan syarat kasih yang paling minimal yaitu kesediaan untuk hidup bersama dan saling memberikan diri melalui hubungan seks. Oleh karena itu di dalam Kitab Hukum Kanonik dikatakan bahwa perkawinan baru dinyatakan sah dan dianggap sebagai sakramen jika telah terjadi consummatum (persetubuhan) . Jadi consummatum merupakan syarat keabsahan suatu perkawinan Katolik. “Dengan persetubuhan, perkawinan ini menjadi tanda penuh dan sempurna hubungan kasih Kristus dan Gereja. Karena itu bersifat tak terceraikan secara mutlak . Artinya tidak ada kuasa manapun yang mampu memisahkan suami-istri dari ikatan kudus ini kecuali kematian. Perkawinan yang monogam dan tak terceraikan inilah yang menjadi hakikat perkawinan Katolik.
Adapun tujuan perkawinan dengan jelas dikatakan dalam KHK kanon 1055 paragraf 1, Perjanjian perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan perempuan membentuk antara mereka persekutuan seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami istri, serta kelahiran dan pendidikan anak... Kanon ini menunjukkan paling kurang 3 tujuan utama perkawinan, yaitu: kesejahteraan suami istri, prokreasi dan pendidikan anak . Perlu dicatatat bahwa kesejahteraan suami istri yang dimaksud bukan berarti mencapai hidup yang nyaman atau tidak terusik, tetapi dalam usaha dan pengorbanan suami istri dalam saling setia untuk mengembangkan dan menyempurnakan kepribadian mereka .

Problematika Perkawinan zaman Ini
Setelah melihat tentang hakikat, tujuan dan sifat perkawinan maka marilah kita meneropong realitas perkawinan saat ini.
Di atas telah dikatakan bahwa hakikat perkawinan Katolik adalah monogam dan tak terceraikan. Perkawinan Katolik adalah perkawinan yang abadi yang tidak dapat diputuskan oleh apa pun kecuali oleh maut. Alasannya sangat jelas, yaitu karena perkawinan Katolik adalah sebuah sakramen. Artinya hubungan suami-istri itu adalah suatu tanda dan simbol kehadiran Kristus sendiri. Karena tanda dan kehadiran Kristus, maka perkawinan itu tidak boleh dipisahkan. Sebagaimana hubungan TUHAN-Israel kendatipun Israel tidak setia, tetapi TUHAN tetap setia selamanya. Karena itu, apapun tantangan dalam hidup berkeluarga, hakikat perkawinan ini: monogam dan tak terceraikan, harus tetap dipertahankan. Gereja akan terus melindungi dan membela martabat asli maupun nilai luhur dan kesucian status perkawinan. Pada zaman ini, masih sanggupkah Gereja menegakkan ke-monogam-an dan ke-takterceraiaan perkawinan Katolik?
Padahal, dewasa ini arus globalisasi dan sekularisasi merupakan suatu tantangan sendiri bagi manusia zaman ini. Individualistis, egoistis, pragmatis, instanistis, dan tidak peduli pada orang lain merupakan warna manusia sekarang. Semua itu tidak lepas dari pengaruh kemajuan teknologi dan arus globalisasi-sekularisasi yang menjadikan generasi sekarang mendewakan materi, prestasi, kepraktisan, kemudahan, dan ingin serba cepat. Gaudium et Spes juga dengan jelas telah mensinyalir fenomen ini. “...cinta perkawinan cukup sering dicemarkan oleh cinta diri, gila kenikmatan dan ulah-cara yang tidak halal melawan timbulnya keturunan. Kecuali itu, situasi ekonomis, sosio-psikologis dan kemasyarakatan dewasa ini menimbulkan gangguan-gangguan yang tidak ringan terhadap keluarga . Tentu saja masalah ini akan terus menjadi tantangan bagi keutuhan sebuah keluarga.
Lihatlah, kehidupan keluarga sekarang ini. Sangat jarang kita bisa menjumpai keluarga-keluarga yang masih memberikan waktu untuk keluarganya secara total. Jangankan memikirkan keluarga, berkumpul bersama seluruh anggota keluarga saja, mungkin tidak pernah. Jika pun berkumpul bersama, masing-masing disibukkan dengan “istri”, “suami”, “saudara” dan “orang tua” masing-masing dalam bentuk Hand Phone. Tidak sulit kita menjumpai keluarga yang sebenarnya berkumpul bersama tetapi pikiran dan hatinya berada pada “istri, suami, saudara atau orang tua” masing-masing. Padahal dulu, keluarga sungguh menjadi suatu pertemuan seluruh anggota keluarga setelah bekerja, belajar ataupun beraktivitas. Kini pertemuan keluarga digantikan dengan televisi, Facebook, internet, Play Station, club-club hiburan, hotel, restoran dan lain-lain. Betapa kompleksnya kegiatan manusia itu, sehingga tidak heran jika hubungan keluarga menjadi sangat gampang hancur. Dan ini berarti potensi perceraian semakin besar. Maka tidak heranlah jika angka perceraian terus meningkat, itulah dampak kemajuan zaman yang tidak dapat dibendung.
Dari fakta tersebut, Gereja ditantang untuk kembali mengkaji ulang refleksi imannya terutama berkaitan dengan nilai-nilai perkawinan Kristiani. Mengenai inti hakekat perkawinan yang monogam dan tak terceraian itu, tentu saja sangat baik. Tetapi bagaimana dengan dampak pastoralnya? Misalnya dengan keluarga yang “gagal” membina hubungan keluarganya. Atau seorang istri yang dianiaya oleh suaminya, padahal perkawinan itu sudah ratum et consummatum. Apakah kita lebih memilih sang istri hidup dalam “dosa” padahal sebenarnya ini bukanlah kesalahan dia sepenuhnya? Memang pada prinsipnya, dalam hukum Gereja dikatakan bahwa perkawinan dapat dibubarkan jika terdapat halangan yang sungguh dapat menggagalkan perkawinan itu. Namun dalam prakteknya, pembubaran perkawinan sangatlah sulit, karena harus melalui jalur yang sangat berbelit-belit dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit.
Dalam hal ini penulis hanya ingin mengkritik kebijakan Gereja Katolik selama ini. Masalah perkawinan yang monogam dan tak terceraikan itu memang baik. Dan bahkan penulis sangat mendukungnya. Namun yang menjadi masalah adalah tentang kebijakan patoralnya. Memang dalam hal halangan nikah kodrati, itu tidak bisa diberi toleransi namun dalam halangan yang bersifat Gerejani sekiranya kebijakan-kebijakan pasroral yang menyesuaikan denga situasi, sangatlah memungkinkan. Dalam prakteknya terhadap halangan nikah Gerejani pun Gereja kadang sunguh sangat sulit memberi dispensasi.
Inilah probematika dan sekaligus tantangan perkawinan Katolik sekarang ini. Di satu sisi, Gereja harus tetap melindungi martabat perkawinan, tetapi di sisi lain juga harus tetap memperhatikan masalah pastoral perkawinan. Bagaimana pun yang menjadi hukum utama dalam hukum perkawinan adalah salus animarum, keselamatan jiwa-jiwa. Masalahnya adalah bagaimana mendamaikan kedua hal ini: hukum dan pastoral. Itulah sebabnya dibutuhkan suatu tindakan yang sungguh-sungguh bijak.


Penutup
Pada bagian pendahuluan makalah ini telah dipaparkan tentang tingginya kasus perceraian yang terjadi di Indonesia. Fakta ini sungguh sangat memprihatinkan. Bagaimana mungkin lembaga ilahi seperti perkawinan ini sampai-sampai dianggap seperti permainan saja. Memang tidak semua perceraian disebabkan oleh kasus ini. Tetapi, dapat dibuktikan bahwa tidak sedikit perceraian yang terjadi itu karena mereka sudah merasa bosan dengan pasangannya. Karena bosan, maka masalah-masalah sekecil apa pun yang muncul akhirnya bisa menyulut amarah rumah tangga yang berujung pada perceraian. Inilah realitas perkawinan saat ini. Nah, bagaimana sikap Gereja terhadap hal ini. Di satu sisi Gereja tidak bisa menutup mata terhadap hal seperti ini tetapi di sisi lain Gereja harus tetap mempertahankan ajaran imannya. Ini dari sisi Gereja.
Dari sisi pasangan suami istri atau para calon suami istri, bagaimana mereka menyikapi hal ini. Di satu sisi, berhadapan dengan relalitas dunia dan ajaran iman yang diimaninya. Mereka tahu bahwa tantangan hidup berkeluarga sungguh berat, tetapi di sisi lain mereka juga harus menyadari bahwa ajaran iman Katolik tetap menjunjung tinggi perkawinan yang bersifat monogam dan tak terceraikan. Perkawinan adalah suatu lembaga ilahi, maka perceraian tidak mungkin ada. Inilah tantangan berat yang harus dihadapi para pasangan suami istri
Namun jika mereka memang benar-benar konsisten pada pilihan dan janji mereka tentu saja perceraian juga tidak akan terjadi. Buktinya masih ada pasutri yang bisa mempertahankan perkawinan mereka sampai pesta emas perkawinan mereka. Nah, akhirnya sesunguhnya kekuatan atau kunci keberhasilan suatu keluarga terletak pada komitmen mereka berdua. Apakah mereka benar-benar kommit pada pilihan mereka. Apalagi jika pemahaman tentang perkawinan diletakkan dalam hubungan Kristus dan Gereja-Nya. Jika masing-masing pasangan sungguh menyadari hal ini, maka yakinlah perceraian tidak akan terjadi.







Daftar Pustaka

Go. P., O. Carm.,
1990, Pokok-Pokok Moral Perkawinan Keluarga Katolik, Dioma, Malang.
Groenen, OFM,
1993, Sakramen Sakramental, Antropologi dan sejarah Teologi, Sistematik, Spiritual, Pastoral, Kanisius, Yogyakarta.
Hardawiryana, R., S.J. (terj).,
1993, “Gaudium et Spes”, Dokumen Konsili Vatikan II, Obor, Jakarta.
Indrasanjaya,
2009, Diktat Nabi-Nabi, Fakultas Teologi wedabhakti.
Kitchen, K.A., BA, Phd.,
1993, “Kanaan”, dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, jilid I, Yayasan Bina Kasih, Jakarta.
Kusumawanta, D. G. B., Pr.,
2007, Analisis Yurudis “Bonum Coniugum” dalam Perkawinan Katolik, Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta.
Martasudjita, E., Pr.,
2003, Sakramen-Sakramen Gereja, tinjauan teologis liturgis dan pastoral, Kanisius, Yogyakarta.
Purwa Hadiwardoyo, Al., MSF.,
1988, Perkawinan dalam Tradisi Katolik, Kanisius,Yogyakarta.
Rubyatmoko, R.,
Diktat Hukum Perkawinan Katolik, Fakultas Teologi wedabhakti.
Rubiyatmoko, R.D.R., (ed).,
2006, Kitab Hukum Kanonik, edisi Resmi Bahasa Indoesia, KWI, Jakarta.
Syukur, D. N., OFM,
2004, Teologi Sistematika , Ekonomi Keselamatan, Kanisius, Yogyakara.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indononesia,
2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Empat, Gramedia, Jakarta.
Wahono, S. W., Ph.D.,
1981, Dua Studi tentang hubungan Tuhan dan Israel, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
hhtp//:google.com.