Selasa, 03 Agustus 2010

Dialog Agama menurut Panikkar

Pengantar
Beberapa bulan yang lalu ditemukan sebuah tulisan yang dipasang persis di depan gereja Katolik Kota Baru, Yogyakarta, bunyinya: “Jangan men-Tuhan-kan Yesus, kalau tidak mau PERANG”. Kalimat ini tentu saja sangat provokatif dan bisa menyulut amarah bagi orang Kristen khususnya umat Katolik dan terlebih umat Katolik Kota Baru. Syukurlah bahwa tulisan itu segera dikeluarkan sehingga tidak menjadi buah bibir di tengah umat dan akhirnya menimbulkan masalah yang lebih parah. Saya yakin jika tulisan ini dibiarkan tepampang di sana lebih lama, maka pasti akan menimbulkan dampak negatif.
Terlepas dari siapa yang memasang tulisan itu dan siapa yang harus bertanggung jawab atasnya, kita dapat mereka-reka bahwa pasti ada kepentingan atau paling tidak maksud pemasangan tulisan itu. Jika menyimak dari kata-katanya, tulisan ini sebenarnya ingin mengafirmasi keyakinannya sendiri dan men-judge keyakinan orang lain. Dan yang lebih parah adalah bahwa ingin perang terhadap orang (Kristen) jika masih tetap mengakui Yesus sebagai Tuhan. Secara eksplisit ingin mengatakan bahwa agamanyalah yang paling benar, sementara agama orang lain tidak benar.
Berbicara mengenai kebenaran suatu agama, sebenarnya sangat sulit untuk mengatakan bahwa suatu agama lebih benar dari agama yang lain. Apalagi jika mengukur kebenaran suatu agama bertolak dari pemahaman saya terhadap agama saya kemudian menerapkannya pada agama lain. Hal semacam inilah yang sekiranya menjadi sumber konflik antar umat beragama dewasa ini. Nah, bagaimana usaha untuk mengatasi atau paling tidak meredam konflik antar umat beragama itu? Salah satu usaha yang dilakukan selama ini adalah melalui dialog antar agama. Dalam sepanjang sejarah dialog agama, sudah ada banyak tokoh yang pernah tampil dengan gagasan-gagasan dan aksi serta karyanya di bidang dialog agama. Salah satu di antaranya adalah Raimundo Panikkar.
Pemilihan tokoh Raimundo Panikkar sebagai tokoh dialog antar agama, tentu memiliki alasan. Bagi penulis, Panikkar adalah tokoh dialog agama yang unik dan khas. Keunikan dan kekhasannya dapat dilihat dari riwayat hidupnya dan dari pemikiran-pemikirannya. Mengenai pemikiran-pemikiran Panikkar tentang dialog agama, memang banyak. Tetapi dalam paper ini akan dibahas secara khusus pemikiran Panikkar tentang kebenaran suatu agama dalam hubungannya dengan dialog antar agama. Namun sebelum mendalami pemikiran Panikkar, ada baiknya jika dipaparkan sedikit tentang riwayat hidupnya.

Biografi
Raimundo Panikkar lahir di Barcelona, Spanyol, pada tahun 1918. Ibunya berkebangsaan Spanyol dan beragama Katolik, sementara ayahnya seorang yang berkebangsaan India dan beragama Hindu. Sejak kecil dia telah dididik dalam tradisi Katolik yang ortodoks, namun pengaruh budaya ayahnya Hindu-India juga ada dalam dirinya. Dari ayahnya dia belajar mengenai kultur dan religi Hindu-India. Proses belajarnya kemudian dikembangkan dengan mempelajari kultur Sanskerta Klasik di bawah bimbingan seorang guru Sanskerta asal Spanyol yang bernama Juan Mascaro.
Panikkar ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1946. Lalu dia ditugaskan di Diosis Varanasi, India. Di sinilah pertemuan dan kontaknya dengan budaya dan religi India. Dia meraih tiga kali gelar doktoral, yang pertama tahun 1946 dalam bidang filsafat berkaitan dengan konsep alam (ekologi) dan gelar doktoralnya yang kedua diraihnya pada tahun 1958 dalam bidang kimia dengan sebuah tesis mengenai Filsafat Ilmu Pengetahuan dengan judul “Ontonomy Science and its Relation to Philosophy”. Dan gelar doktoralnya yang terakhir diraihnya dalam bidang Study Agama-Agama (terutama Hindu-India) pada tahun 1961. Dari ketiga gelar doktoralnya itu dapatlah kita menarik suatu kesimpulan bahwa Pannikar adalah seorang yang haus akan pengetahuan, dan bahkan lebih dari itu dia berusaha mendalami dengan sungguh-sungguh bidang filsafat, sains dan teologi . Ketiga bidang ilmu yang didalaminya ini tentu saja akan sangat berpengaruh pada cara berpikir dan gagasan-gagasannya. Selain itu, faktor budaya (India dan Spanyol) kedua orang tuanya serta lingkungan di mana dia tinggal tentu saja turut membentuk pola pikirnya.
Selama hidupnya Panikkar telah menghasilkan karya-karya besar dan terkenal terutama dalam bidang studi perbandingan agama-agama. Karya-karyanya tersebut adalah The Unknown Christ of Hinduism (1961-1964), The Silence of God: Answer of The Budha (1970), The Trinity and The Religious Experience of Man (1973), The Intra Religious Dialogue (1978).
Melihat sekilas tentang riwayat hidupnya, ada beberapa hal yang menarik dari Panikkar, yaitu latar belakang keluarganya yang sangat pluralis. Hal lain yang menarik adalah bahwa Panikkar adalah salah satu tokoh dialog agama besar yang berasal dari Asia. Dan yang paling menarik dari Panikkar adalah jawaban yang diberikannya ketika dia ditanya, bagaimana dia menjalani hidupnya berhadapan pluralitas agama. Dengan enteng dia menjawab I “left” as a Christian, I “found” myself a Hindu, and I “return” a Buddhist, without having ceased to be a Christian . Hal ini menarik, karena Panikkar adalah seorang pemikir yang memberikan pemikirannya tidak berdasarkan teori semata, tetapi justru berasal dari pengalaman pribadinya. Dan lebih dari itu, dia mengatakan bahwa bergaul atau berhubungan dengan orang yang beragama lain tidak harus menanggalkan iman dan membuat iman kita luntur, tidak harus mengadili orang lain dan tidak harus memaksa orang lain untuk mengikuti apa yang saya yakini.
Tetapi, karena pemikiran Panikkar selalu berangkat dari pengalamannya, maka dia tidak pernah berbicara tentang dialog dengan Islam secara implisit. Dia lebih banyak berbicara tentang Hindu-Budha dan Kristen karena dia berada di lingkungan itu. Kendatipun demikian tentu saja tidak bisa dikatakan bahwa pemikirannya sama sekali tidak relevan dalam dialog dengan Islam. Justru pokok-pokok pemikirannya tentang dialog itu dapat diterapkan dalam dialog dengan siapa pun dan agama manapun.

Teori Kebenaran
Sebenarnya ada banyak pemikiran Panikkar yang relevan dengan dialog agama, tetapi yang akan dibahas dalam paper ini adalah pemikirannya tentang kebenaran. Menurut penulis pembicaraan mengenai kebenaran ini adalah suatu dasar yang sangat penting dalam pembicaraan tentang pluralisme, yang tidak jarang telah menimbulkan gep dan masalah di antara budaya dan agama. Lihatlah konflik yang terjadi di Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Misalnya yang terjadi di Jawa Timur, Jawa Barat, NTB, Maluku dan Poso. Memang seakan-akan kita terlalu menyederhanakan masalah jika kita langsung mengatakan bahwa konflik yang terjadi itu semuanya didasari oleh permasalahan tentang kebenaran agama. Tetapi jika kita jujur menilainya, memang kita akhirnya akan tiba pada kesimpulan bahwa konflik antar pemeluk agama itu disebabkan karena masing-masing pemeluk agama terlalu berpegang pada kebenaran agamanya. Masing-masing merasa bahwa apa yang diyakininya itulah yang paling benar sementara yang diyakini orang lain tidak benar. Karena merasa bahwa orang lain salah maka ia berusaha untuk mempertobatkan orang yang salah itu dan ingin menghantarnya pada kebenaran. Tetapi yang menjadi masalah adalah karena cara “mempertobatkan” orang lain itu bahkan sampai pada cara kekerasan. Juga yang menjadi masalah adalah karena orang lain juga ternyata sudah memiliki kebenaran yang diyakininya sendiri dalam bentuk iman dan kepercayaannya pada salah satu agama. Siapakah dia sehingga dia berhak mengadili orang lain sebagai benar atau salah? Dan apakah dia pantas disebut sebagai orang yang benar? Padahal, cuma Tuhanlah yang berhak menentukan dan memiliki kebenaran mutlak. Jika demikian, bukankah secara teologis, klaim kemutlakan atas nama agama itu merupakan ‘kudeta’ atas kemutlakan Tuhan?
Sebelum melangkah terlalu jauh, terlebih dahulu marilah kita menyamakan pemahaman kita tentang pengertian kebenaran itu. Dalam pengertian sehari-hari, kita mengartikan kebenaran sebagai kesesuaian antara apa yang dipikirkan dengan kenyataan atau apa yang sesungguhnya terjadi . Jadi ada kesesuaian antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan. Dalam konteks beragama yang disebut sebagai orang benar adalah orang yang beriman dan berperilaku baik. Wilfred Cantwell Smith, pernah mengatakan: Truth and falsity are often felt in modern times to be properties or functions of statements or propositions; whereas the present proposal is that much is to be gained by seeing them rather, or anyway by seeing them also, and primarily, as properties or functions of persons . Maka itu sebenarnya tidak dapat dipisahkan antara kebenaran dan moralitas. Jika kembali pada permasalahan orang yang menganggap orang lain salah lalu melakukan aksi kekerasan untuk memaksa orang lain mengikuti kebenaran yang diikutinya, maka dapatkah dikatakan bahwa orang tersebut benar sementara tindakannya tidak sesuai dengan moralitas?

Kebenaran Menurut Panikkar
Menurut Pannikar, kebenaran itu bukanlah monopoli suatu tradisi religius tertentu. Karena setiap agama dikenal melalui konteks keagamaannya sendiri dan memiliki kekhasannya sendiri, di mana yang lainnya sebagai yang lain tidak dapat dipersamakan atau diperbedakan . Konflik akhirnya terjadi ketika seseorang mulai menilai seorang beragama lain dari kacamata kebenarannya sendiri. Orang semacam inilah yang kemudian dimasukkan Panikkar dalam golongan orang yang menganut paham eksklusivisme. Dan menurutnya masalah eksklusivisme inilah yang menjadi persoalan mendasar yang dapat menjadi penghambat hubungan antaragama. Now, the claim to truth has a certain built-in claim to exclusivity. If given statement is true, its contradictory cannot also be true. And if a certain human tradition claims to offer a universal context for truth, anything contrary to that “universal truth” will have to be declared false .
Untuk menjelaskan mengenai kebenaran ini, Panikkar mencoba memulainya dari pemahamannya tentang konsep pewahyuan dalam agama Kristen dan dalam agama lain. Selain dalam agama Kristen, ternyata dalam agama lain, dia juga menemukan adanya kebenaran tentang pewahyuan itu. Padahal menurut doktrin Kristen dikatakan bahwa Allah dipahami sebagai Allah Yang Absolut. In the Christian tradition this Absolute has a definite designation: “The Father of our Lord Jesus Christ” . Panikkar mengakui bahwa di sinilah letak sikap eksklusif yang dibangun oleh orang Kristen. Setelah mengadakan perjumpaan dengan agama lain, ternyata Panikkar juga menemukan adanya kebenaran di mana kebenaran itu dipegang dan diyakini oleh mereka. Misalnya dalam agama Hindu dikenal adanya konsep noneksistensi Allah yang dikenal dengan sebutan Brahman sebagai ketiadaan murni. Sementara dalam agama Budha realitas Ilahi dikenal dan dipahami dengan sebutan “Ketiadaan dan Kekosongan”. Ketiadaanya Allah diakui sebagai suatu kebenaran dan dan bahkan ini merupakan rumusan iman yang objektif dan eksplisit bagi mereka. Dalam agama Islam memang Panikkar tidak mengatakannya secara langsung, tetapi kita juga dapat menemukan kebenaran yang berkaitan dengan iman dalam agama Islam. Mereka menyebutnya sebagai Allahu Akbar, Allah Mahabesar, Allah Yang Esa.
Dari beberapa pemahaman di atas tentang kebenaran, kita dapat melihat bahwa memang benar ada juga kebenaran dalam agama lain. Manakah di antara semua kebenaran itu yang paling benar? Bagi agama Islam kebenaran yang paling benar atau kebenaran absolut adalah bahwa Allah itu Esa, tiada Tuhan selain Allah. Atau bagi agama Hindu, Yang Ilahi itu diyakini sebagai Brahman atau ketiadaan murni. Penganut agama Kristen tidak boleh mengatakan bahwa pemahaman mereka itu salah. Yang benar adalah sebagaimana yang terungkap dalam trinitas, Bapa, Putra dan Roh Kudus. Masing-masing agama tidak boleh melihat kebenaran dalam agama lain dengan menggunakan kacamata kebenarannya sendiri.
Dalam bukunya yang berjudul The Unknown Christ of Hindusm, Panikkar mengatakan bahwa kebenaran agama itu tidak bersifat singular, tetapi partikular karena bisa terdapat di dalam lebih dari satu agama dan penyingkapan kebenaran tersebut bisa menjadi insight timbal-balik bagi semua pihak. In these times of growth in which no people or civilization can shut itself off from the rest of the world . Dari hal tersebut, sebenarnya Panikkar tidaklah bermaksud mengecilkan arti kebenaran itu. Yang ingin dikatakan sebenarnya adalah bahwa pengalaman-pengalaman partikular mengenai kebenaran dapat diperluas dan diperdalam sehingga bisa menyingkapkan berbagai pengalaman baru mengenai kebenaran, terutama menyangkut persoalan kebenaran Ilahi . Hal senada juga pernah dikatakan John Hick other religions are equally valid ways to the same truth. Jadi tidak hanya ada satu kebenaran yang absolut dan universal, tetapi ada banyak kebenaran . Panikkar percaya bahwa agama-agama lain juga mempunyai kebenaran sebagian dan sebagai pendahuluan serta ikut dalam kebenaran yang universal, mereka disebut sebagai “Anonymous Christian.” Ia percaya seorang dari agama Budha, Hindu, Islam adalah orang Kristen, walaupun mereka belum sempat datang secara aktual ke dalam Kekristenan, namun mereka tetap akan diselamatkan karena kebenaran Kristen ada di dalam agama-agama mereka. Panikkar percaya bahwa penyataan Allah ada di dalam semua agama dan Yesus Kristus hanyalah salah satu penyataan Allah yang juga ada di dalam agama-agama lain, di mana menyadari ada realitas ilahi. Oleh karena itu bagi Panikkar Yesus bukan Tuhan dan Juruselamat yang Final dan satu-satunya

Aturan Main dalam Perjumpaan Agama
Berhadapan degan pluralitas iman dan kebenaran-kebenaran partikular dalam berbagai agama, hal yang tidak dapat dipungkiri adalah adanya perjumpaan antar agama. Dan dalam perjumpaan itu tentu saja akan terjadi kontak dan relasi. Nah, agar dalam relasi tersebut tidak terjadi bentrok dan konflik maka dibutuhkanlah saling pengertian antara kedua belah pihak. Sikap saling pengertian itulah yang biasa disebut dialog. Seperti yang dikatakan Panikkar bahwa tujuan dialog adalah untuk membongkar pra-pemahaman atau a priori kita pada orang lain. Hence dialogue serves the useful purpose of laying bare our own assumptions and those of others, thereby giving us a more critically grounded conviction of what we hold to be true . Lebih lanjut dia mengatakan bahwa dialog bukanlah sekedar metodologi tetapi suatu bagian esensial tindakan religius “Par Excellence”: mencintai Allah melampaui segala hal dan mencintai sesama seperti diri sendiri. Dengan kata lain, dialog tidaklah pertama-tama berarti studi, kosultasi, pemeriksaan, pengajaran, pernyatan belajar, dan sebagainya. Dialog lebih pada mendegarkan dan mengobservasi; berbicara, megoreksi dan dikoreksi, di mana tujuannya adalah saling pengertian. Dalam dialog hubungan antaragama bukanlah hubungan “asimilasi”, atau hubungan substitusi melainkan hubungan “saling menyuburkan” .
Oleh karena itu untuk mencapai dialog yang sesungguhnya, Panikkar telah memberikan beberapa aturan main dalam berdialog, yaitu :
a. Harus bebas dari apologi khusus, artinya untuk berdialog, para peserta harus terbebas dari gagasan a priori.
b. Harus bebas dari apologi umum yaitu pertobatan. Dialog tujuannya bukanlah untuk menobatkan orang lain tetapi dialog memang adalah suatu kebutuhan yang harus dilakukan berhadapan dengan pluralitas iman.
c. Berani menghadapi tantangan pertobatan. Artinya dalam dialog, seorang harus berani mengambil risiko: kehilangan hidupnya atau dilahirkan kembali. Panikkar menganalogikannya dengan peziarah yang membuat jalannya sendiri yang belum terpetakan. Jalan yang di depannya masih perawan, belum dijamah. Peziarah itu pasti akan sangat senang karena melihat dua hal: indahnya penemuan pribadinya dan dalamnya harta abadi yang diperolehnya tetapi sekaligus dia harus berani menghadapi setiap kemungkinan yang akan dialaminya.
d. Dimensi historis penting tetapi tidak mencukupi. Dialog sebaiknya tidak berhenti hanya pada perjumpaan para ahli, tetapi dialog harus hidup, dan harus menjadi medan untuk pemikiran kreatif dan jalan-jalan baru yang imajinatif, yang tidak memutuskan hubungan dengan masa lampau melainkan meneruskan dan mengembangkannya.
e. Bukan sekedar kongres filsafat. Dialog bukanlah sekedar pertemuan para filsuf untuk membicarakan masalah-masalah intelektual mengenai agama.
f. Bukan sekedar symposium teologis. Dialog bukanlah sekedar usaha untuk membuat orang lain mengerti maksud saya.
g. Bukan sekedar ambisi pemuka agama. Dialog tidak hanya keinginan pemuka agama semata, tetapi harus sampai pada penganut-penganutnya.
h. Perjumpaan agama dalam iman, harapan dan kasih. Sikap iman yang dimaksudkan adalah melampaui data sederhana dan juga perumusan dogmatis dari pengakuan yang berbeda-beda. Dengan harapan diharapkan agar sikap dialog melampaui segala harapan, dapat melompati tidak hanya hambatan awal kemanusiaan, kelemahan dan keterikatan-keterikatan yang tidak disadari tetapi juga melompati segala bentuk pandangan yang semata-mata duniawi, dan memasuki jantung dialog, seolah-olah didesak dari atas untuk menjalankan tugas yang suci. Dengan cinta yang dimaksudkan adalah gerak hati, kekuatan yang mendorong untuk sampai pada sesama dan yang membimbing untuk menemukan di dalam mereka apa yang kurang dalam diri kita.

Realitas Indonesia
Keanekaragaman adalah sesuatu yang tidak bisa disangkal di dunia ini. Ada keragaman suku, agama, ras, bangsa, profesi, budaya dan golongan. Keanekaragaman itu di satu sisi bisa menjadi suatu kekayaan yang patut disyukuri, tetapi di sisi lain bisa juga menjadi sumber konflik, misalnya di Indonesia. Data menunjukkan bahwa di Indonesia, konflik yang bernuansa agama sangat sering kita jumpai. Misalnya kasus pembakaran gereja di Halmahera pada 14-15 Agustus 2002, konflik Poso pada Desember 2003, penyerangan terhadap Huriah Kristen Batak Protestan (HKPB) dan penyerangan terhadap rumah-rumah pengikut Ahmadiyah di Lombok pada September 2002 .
Selain itu hal yang memprihatinkan adalah adanya fakta yang memperlihatkan bahwa semakin meningkatnya jumlah penghancuran rumah ibadat khususnya gereja. Selama masa pemerintahan Soekarno yang berlangsung 21 tahun, hanya ada 2 gereja yang dirusak (atau rata-rata 0,008 buah perbulan). Selama masa pemerintah Soeharto yang berlangsung 32 tahun, ada 456 gereja yang dirusak (atau setiap bulannya ada 1,2 gereja). Selama masa pemerintah Habibie yang berlangsung 17 bulan, ada 156 gereja yang dirusak (atau setiap bulannya ada 9,2 gereja). Selama pemerintah Presiden Gus Dur yang berlangsung 21 bulan, ada 232 gereja yang dirusak (atau rata-rata perbulan 11 gereja). Masa Pemerintah Megawati selama 4 bulan pertama pemerintahannya, ada 12 gereja yang dirusak (rata-rata 3 gereja perbulan). Sedangkan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat sejumlah kasus penghancuran gereja di Tangerang, Bekasi dan sejumlah daerah di Jawa barat, Kalimantan dan Batam (Zuhairi Misrawi, 2007) .
Fakta di atas sungguh sangat memprihatinkan dan sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin hal semacam itu bisa terjadi, sementara setiap agama telah mengajarkan kebaikan dan kebenaran kepada para pengikutnya. Dan lebih-lebih tidak masuk akal karena Undang-undang Dasar kita telah menjamin kebebasan memeluk dan melaksanakan ajaran agama bagi seluruh rakyat Indonesia. Mengapa masih ada konflik antar agama? Oleh karena itu menjadi pertanyaan besar bagi kita, sebenarnya letak permasalahnya di mana? Apakah agama tidak mampu memberikan penyadaran dan mengajarkan kebenaran yang sesungguhnya kepada para penganutnya? Ataukah hukum negara kita yang terlalu lemah seperti singa ompong yang kehilangan gigi?
Memang akhirnya mengatakan bahwa agama sebagai sumber kekerasan atau sumber konflik agaknya merupakan sebuah paradoks, karena pesan inti agama adalah perdamaian. Tapi, menolak keterkaitan itu sama sekali juga merupakan perbuatan naif, karena kita jelas-jelas melihat banyaknya fenomena pembunuhan, terorisme, dan perusakan yang mengatasnamakan agama .
Marilah kita melihat dengan cermat konflik-konflik di atas. Apakah dapat kita katakan bahwa para pelaku kekerasan itulah yang sepenuhnya disalahkan? Bagi penulis sendiri tidak yakin bahwa kesalahan sepenuhnya berada di pihak mereka. Karena jika kita melihat dalam ajaran agama suatu agama, ternyata suatu agama tidak pernah akan terlepas dari suatu ajaran atau doktrin yang memiliki arti yang bisa dikatakan terlalu dalam sehingga tidak semua orang bisa mengertinya dengan tepat. Misalnya ajaran ekstra ecclesiam nulla salus, dalam Gereja Katolik, atau dalam Islam dikenal adanya ayat Al-Quran yang mengatakan “Agama yang diridai di sisi Allah hanyalah Islam” (QS 3:19). Atau juga penafsiran terhadap ayat pedang QS 9:29 dan QS 2:256. Dari sini kita dapat melihat bahwa ternyata dalam suatu agama pun terdapat suatu yang dapat menjadi dasar pembenaran bagi para pelaku kekerasan . Hal ini juga sangat nampak misalnya yang dilakukan oleh para jihat dan orang-orang yang ingin mendirikan suatu negara agama .
Berhadapan dengan realitas tersebut, sekiranya baik jika kita kembali pada apa yang dikatakan oleh Panikkar bahwa dalam perjumpaan dengan orang beragama lain kita harus berani melepaskan keterikatan dogma dan rumusan kepercayaan yang bisa mengantar pada eksklusivisme agama dan ketertutupan yang radikal. Ketika suatu agama mengklaim bahwa agamanyalah yang paling benar, atau di luar agamanya tidak ada kebenaran atau keselamatan, dan akhirnya juga mengurusi urusan agama lain, maka yakinlah bahwa dialog tidak akan pernah ada.
Sebagai bahan refleksi bagi kita semua, sudah sejauh mana kita menempatkan dan memposisikan ideologi agama kita berhadapan dengan umat beragama lain? Sanggupkah kita dengan rendah hati meletakkan (untuk sementara) keyakinan akan kebenaran agama kita untuk duduk bersama-sama berdialog dengan agama lain? Mampukah kita melihat pluralitas itu bukan saja sebagai masalah, tetapi suatu berkat? Mampukah kita menerima persamaan dan perbedaan dengan serius dan tulus? Dan mampukah kita menjadikan perjumpaan pribadi kita dengan orang yang beragama lain itu sebagai suatu tindakan harapan untuk menacapai transformasi diri? Dialog yang sesungguhnya tidak akan melunturkan iman kita tetapi justru akan saling menguatkan.

Penutup
Menyakini bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang benar adalah baik, bahkan itu merupakan keharusan. Tetapi menjadi tidak baik ketika mengatakan bahwa agamakulah yang paling benar sementara agama orang lain salah. Apalagi ketika ingin melakukan tindakan langsung untuk memaksakan kebenaran yang diyakini itu kepada orang lain dengan melakukan aksi kekerasan. Ingatlah bahwa Yang Satu (Tuhan) itu bisa dipahami dan diyakini dengan berbagai cara dan itu semua adalah ”jalan” yang benar menuju hakikat yang Absolut.









Daftar Pustaka

Cantwell S. W.,
1975, “A Human View of Thruth”, dalam John Hick (ed), Thruth and Dialogue: The Relationships between world religions, London: Sheldon Press.
Coward, H.,
1989, Pluralisme, tantangan bagi agama-agama, Yogyakarta, Kanisius.
Galus, B.S.,
2009 “Politik Indentitas, Konflik Horizontal dan Ancaman Etno-sentrisme, tantangan bagi pemerintah”, dalam paper untuk Jurnal Fenomena.
Kanisius L.S.,
2006, Allah dan Pluralisme Religius, Menelaah Gagasan Raimundo Panikkar, Yogyakarta, Kanisius.
Muawiyah R.A.(ed),
2006, Demi ayat TUhan, Upaya KPPSI menegakkan Syariat Islam, Jakarta, OPSI.
Panikkar, R.,
1999, The Intra-Religious Dialogue, New York, Paulist Press.
1973, The Trinity and The Religious Experience of Man, Orbis Books, Maryknoll, New York,
1968, The Unknown Christ of Hinduism, Orbis Books, Maryknoll, New York.
Prabhu, J.,
2006, The Intercultural Challenge of Raimon Pannikar, dalam Silvester Kanisius L. Allah dan Pluralisme Religius, menelaah Gagasan Raimundo Panikkar, Jakarta, Obor.
Sudarminta, SJ,
Setia Pada Kebenaran, Sumbangan Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, pidato yang disampaikan saat pengukuhannya sebagai guru besar Filsafat di STF Driyakara, Jakarta, 12 Mei 2007.
Sudiarja A. (ed),
1994, Dialog Intra-religius, Yogyakarta, Kanisius.
www.google.com.

Tidak ada komentar: