Minggu, 30 Agustus 2009

Cinta kasih

MAAFKAN AKU AYAH!!!

 

Sebut saja Oldesimus. Umurnya sudah lanjut, kira-kira 80 tahun. Tubuhnya sudah bungkuk. Rambutnya sudah beruban dan suaranya pun sudah tidak jelas lagi. Jika berbicara ia sering ngalur-ngidul karena sudah pikun. Sisa hidupnya harus dihabiskan di atas kursi roda karena ia terkena penyakit stroke.

Suatu hari ia duduk di beranda rumahnya bersama dengan anaknya. Anaknya itu adalah seorang yang berpendidikan tinggi. Dia kaya. Rumahnya mewah dan ia tinggal bersama dengan istri dan anak-anaknya. "Nnnaakk... aa apa ittu?", katanya pada anaknya yang sedang duduk di depannya membaca koran. "Itu mobil", jawabnya singkat. Setelah beberapa menit, sang ayah bertanya kepada anaknya untuk kedua kalinya, "Aappaa itu?""Sudah kukatakan itu MOBIL....!!!" jawabnya sambil menatap sang ayah dengan tajam. Setelah beberapa saat, pak Oldesimus bertanya lagi untuk ketiga kalinya, "Aappaa itu?" Dengan wajah merah dan penuh kekesalan, sang anak melemparkan koran yang dibacanya dan menghampiri ayahnya sambil berteriak, "ITU MOBIL!!!". Setelah itu, sang ayah masih bertanya lagi untuk keempat kalinya, "Aaaa apa iii tu?" Sang anak tidak bisa lagi menahan emosinya, "Kenapa ayah selalu bertanya kepada saya 'apa itu dan apa itu terus. Saya telah mengatakannya berkali-kali, itu M O B I L. Apakah ayah tidak mengerti? Saya mau pake bahasa apa lagi supaya ayah mengerti?" Ia segera meninggalkan ayahnya, dan dengan penuh kekesalan ia masuk ke dalam rumah dan membanting pintu. Braakkk!!! Dalam hati ia berkata, dasar orang tua, sudah tua, pikun, penyakitan, jadi beban, HIDUP LAGI.

Dari kejauhan terdengar suara Si Ones anak bungsunya yang masih duduk di bangku TK, "Pi...papi...papi liat ini, aku udah bisa buat kapal telbang. Liat pi... bagus kan?" Kata Si Ones sambil memperlihatkan sebuah mainan kapal terbang yang terbuat dari kertas. "Oh...anakku pintar, udah bisa buat kapal terbang. Tadi di sekolah ibu guru ajari Ones buat ini yah. Bagus sekali", katanya sambil merangkul si Ones yang masih menggunakan seragam TK. "Iya pi, ibu gulu ajalin Ones buat kapal telbang. Tapi buatan Ones lebih bagus lho pi", katanya bangga sambil memperlihatkan sebuah mainan kapal terbang yang dibuatnya dari kertas yang sudah lusuh. "Memang anak papi yang satu ini sangat pintar. Dulu waktu papi seumur kamu, papi tidak bisa buat yang kayak gini lho. Ya, sudah ya... Ones ganti baju lalu makan setelah itu tidur siang ya. Nanti kalo udah bangun kita mau jalan-jalan". "Tapi Opa ikut kan pi? Kasian tuh Opa slalu ditinggalin di rumah kalo kita pergi. Pokoknya Opa ikut. Janji ya pi?" Si Ones merengek. "Iya, deh. Sini cium papi dulu" ummaaah. "Eh...Ones", panggilnya "Kamu ambil dimana kertas ini" "Oh... itu Ones ambil di kamar Opa". Katanya sambil berlari ke kamarnya. Beberapa saat kemudian ia tidak kelihatan lagi.

Sang papi tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengamati kertas lusuh yang dipegangnya sekarang. Kertas yang kini telah menjadi sebuah mainan kapal terbang ternyata terdapat goresan-goresan tinta yang sudah tidak jelas lagi. Di dalamnya tertulis demikian: Hari ini anakku berusia 3 tahun duduk denganku di beranda rumah. Ketika sebuah mobil lewat, anakku bertanya kepadaku 'apa itu?' Berulang-ulang pertanyaan itu diucapkan bahkan sampai 40 kali. Aku menjawabnya sebanyak 40 kali. 'Itu mobil nak!!!' kataku sambil memeluknya. Sedikitpun aku tidak kesal. Justru aku sangat senang karena anakku sudah bisa bicara.... Ia tidak sanggup lagi meneruskannya. Hatinya terasa tertusuk sebuah pedang yang amat tajam.  

Ketika aku bertanya kepada ayahku sebanyak 40 kali, ia sama sekali tidak kesal. Tetapi ketika dia bertanya hanya 4 kali dengan pertanyaan yang sama padaku, jawaban yang kuberikan ternyata adalah kekesalan, kemarahan dan caci maki. Dia yang sudah tua dan tak berdaya kadang-kadang tidak lagi kuperhitungkan dan kuperhatikan. Padahal aku pasti tidak akan seperti ini seandainya dia  tidak merawatku sejak kecil. Apa jadinya jika seandainya saat itu dia tidak mau merawatku, tidak mau mendidikku, tidak mau mengajariku, ataukah tidak mau mengakuiku sebagai anaknya. Apakah aku langsung jadi seperti ini? Apakah aku langsung mampu berjalan, mampu bicara, pakai baju, makan sendiri dan memenuhi kebutuhanku sendiri. Pasti TIDAK!!! Dia yang selama ini menjadi tumpuan kehidupanku, dia yang selalu memperhatikan dan memenuhi hidupku, dia yang menanggung panasnya terik matahari dan dinginnya malam untuk menjagaku dan dia yang mengajariku membedakan yang baik dan yang jahat sudah tidak berdaya, mengapa aku justru membentak, memarahi, mencaci dan melayaninya dengan sungut-sungut.

Ia tidak mampu menahan tangisnya. Air mata pun jatuh bercucuran. Ia sungguh menyesal. Selama ini ternyata dia salah sangka terhadap ayahnya. Ia justru membalas kasih sayang dan perhatian ayahnya dengan caci-maki dan kebencian. Air susu kini dibalas dengan air tuba. Ia langsung berlari keluar dan mendapati ayahnya yang duduk sendiri tak berdaya di atas kursi roda. Ia mendekatinya dan memeluknya erat-erat. "Yah.. ayah, maafkan aku. Aku telah berbuat salah terhadap ayah. Aku sungguh anak yang tidak tahu diri. Selama ini aku tidak ikhlas merawat ayah. Aku bahkan menganggap ayah sebagai beban dalam keluargaku. Aku kadang menyebut ayah sebagai orang tua yang tidak berguna. Aku telah berdosa ayah. Maafkan aku ayah. Maafkan aku. Mulai sekarang aku akan merawat ayah dengan baik. Aku akan memberikan yang terbaik untuk ayah sebagaimana ayah telah menyayangiku sejak aku kecil. Ayah aku akan memberikan  yang terbaik untukmu. Aku akan mengatakan kata-kata yang baik dan indah untukmu, bukan cacian, omelan dan kata-kata kasar. Aku ingin melihat ayah bahagia selamanya".

Kaliurang, Maret 2008

Tulisan ini pernah dimuat di majalah DIALOG

 

 


Tidak ada komentar: