Minggu, 30 Agustus 2009

tulisan

TAHBISAN BUKANLAH PENGHAPUS KECENDERUNGAN MANUSIAWI

 

Romo juga manusia!!! Sebagai manusia, ia mempunyai kecenderungan-kecenderungan manusiawi. Kecenderungan manusiawi itu adalah sesuatu yang alamiah yang sudah melekat pada setiap manusia, misalnya yang paling nampak dalam bentuk perasaan. Kecenderungan manusiawi tidaklah terhapus dengan adanya tahbisan atau penerimaan kaul. Perasaan itu tetap ada dan akan tetap menyatu dengan pribadi seseorang. Dalam perjalanan panggilannya, para imam dan biarawan-biarawati akan selalu bergulat dengan kecenderungan dan perasaan manusiawi ini. Bagaimana ia menerima sifat kemanusiawiannya apa adanya dan di sisi lain ia juga harus menerima bahwa ia adalah pribadi yang "spesial" yang dipanggil oleh Allah secara khusus untuk menjadi perpanjangan tanganNya untuk melayani umat dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Untuk menjadi perpanjangan tangan Tuhan tidak berarti harus sempurna dan menjadi sama seperti malaikat. Pergulatan antara kemanusiawian dan kerohanian pasti akan selalu menjadi tema sentral yang harus dihidupinya selama hidupnya.

 

Kecenderungan manusiawi

Ada begitu banyak kecenderungan manusiawi dalam bentuk perasaan yang ada dalam diri manusia. Misalnya, sabar, baik hati, tulus, bertanggungjawab, jujur, peka, marah, jengkel, sombong, egois, frustasi, stress, sakit hati dan lain sebagainya. Kecenderungan-kecenderungan ini harus diolah dengan baik, karena olah pribadi ini akan sangat mempengaruhi relasi dengan orang lain dan juga penerimaannya terhadap dirinya sendiri. Pengolahan kepribadian yang baik akan membuatnya merasa in dengan panggilannya sebagai imam atau biarawan-biarawati, in dengan umat yang dilayaninya dan mencintai diri dan panggilannya. Namun jika tidak, yang muncul hanyalah perasaan tidak betah dengan pekerjaannya, dengan komunitasnya, dengan umatnya dan juga akan membenci panggilannya. Perasaan benci dan sakit hatilah yang akan selalu mewarnai perjalanan panggilannya.

Misalnya seorang Romo yang baru menyelesaikan studi doktoralnya di sebuah universitas di luar negeri. Ketika ia tiba di keuskupannya, bapak Uskup ternyata menempatkannya di sebuah paroki. Hal ini sama sekali tidak terpikirkan olehnya sebelumnya. Ia hanya membayangkan bahwa pasti ia akan menempati posisi yang paling tidak sesuai dengan gelar yang sekarang sudah ia sandang. Masakan saya hanya ditugaskan di paroki, pikirnya. Namun nyatanya dia memang ditugaskan oleh Uskup di sebuah paroki yang menjadi pusat sentrum karya pastoral di kevikevan itu. Hanya karena ketaatannya pada uskup, akhirnya ia terpaksa menjalani tugas itu, dengan berharap tahun depan ia akan dimutasi ke tempat yang lebih baik. Tahun demi tahun ia lalui tanpa semangat. Karya-karya pastoralnya tidak berjalan dengan baik, tugas-tugas yang berhubungan dengan pengembangan iman umat ia hanya jalankan setengah hati, bahkan ia menjadi semacam pemberontak di keuskupannya. Ide-ide tentang pengembangan keuskupan selalu saja ia tolak dan ia sudah tidak terlibat lagi dalam pertemuan-pertemuan UNIO keuskupan. Kejengkelan dan sakit hatinya semakin menjadi besar setelah satu periode tugasnya bapa uskup tidak kunjung memutasi dia. Akhirnya jalan terakhir yang ia tempuh adalah inkardinasi ke keuskupan lain.

Berbeda dengan pengalaman suster Lusi yang ditugaskan untuk mengurus sebuah rumah ret-ret di suatu tempat. Tugasnya menjadi pengurus dan penanggungjawab rumah retret itu ia jalankan dengan baik. Bahkan ia sudah merasa in  dengan pekerjaannya itu, kendatipun memang berat. Namun perasaan gembira dan senang itu mulai berubah ketika ia kedatangan seorang suster, namanya suster Maria. Oleh pemimpinnya suster Maria akan ditugaskan untuk bekerja bersama dengannya, karena pemimpinnya melihat bahwa karya rumah retret itu sudah semakin maju, suster Lusi sudah tidak sanggup lagi menghandel semuanya, karena itu suster Maria ditugaskan untuk membantu dia. Suster Lusi bukannya senang, dengan kedatangan suster Maria ia justru merasa bahwa suster Maria akan menjadi saingannya. Padahal mereka adalah teman seangkatan semenjak mereka menjadi aspiran.

Memang benar bahwa suster Maria menjadi saingan baginya. Setelah beberapa tahun berkarya bersama, suster Maria justru diangkat menjadi pemimpin dan penanggungjawab rumah ret-ret itu, menggantikan dirinya. Memang semenjak menjadi aspiran, suster Maria jauh lebih sukses dan terkenal serta lebih akrab dengan formator. Hal yang sama terjadi ketika mereka berkarya bersama. Suster Maria jauh lebih populer di antara para pengunjung yang datang ke wisma mereka, juga dia lebih akrab dengan para romo. Perasaan tidak suka terhadap suster Maria semakin hari semakin bertambah. Lama-kelamaan menjadi iri hati dan akhirnya menjadi luka batin. Perasaan tidak suka itu terwujud dalam dalam usahanya menghindari kegiatan-kegiatan bersama bahkan makan bersama pun tidak lagi. Baginya komunitas menjadi semacam neraka.

 

Tahbisan atau Penerimaan Kaul Bukanlah Jaminannya

Sebuah buku yang dikarang oleh Roderick Srtange yang berjudul The Risk of Discipleship: Imamat Bukan Sekedar Selibat dalam bab kelima yaitu tentang Panggilan Manusiawi dikatakan demikian: sifat dasar (kodrat) manusia tidak dapat diubah dengan adanya tahbisan. Rahmat memperkembangkan sifat dasar (kodrat). Rahmat tidak menggantikan sifat dasar (kodrat). Kita adalah diri kita sendiri. Sifat dasar dalam bentuk perasaan adalah sesuatu yang alami. Dan perasaan itu akan selalu ada dalam diri kita.

Perasaan adalah sesuatu yang tidak dapat disangkal, semua orang memilikinya, namun dalam kadar yang berbeda. Pada dasarnya perasaan dalam diri manusia bukanlah hal negatif yang harus ditekan dan dihilangkan. Perasaan itu alami. Ketika mengalami sesuatu, secara otomatis kita juga akan merasakan sesuatu. Misalnya, senang, puas, pasrah, jengkel, marah, khawatir, takut, bingung, jengkel, sakit hati dan lain-lain. Perasaan-perasaan itu akan muncul setiap saat sehingga lama-kelamaan akan menjadi tumpukan perasaan.. Yang menjadi masalah adalah ketika perasaan itu muncul namun kita tidak mengekspresikannya. Perasaan yang ditekan akan sangat mengganggu ketenangan kita. Apalagi jika perasaan itu berupa perasaan negatif, misalnya marah, jengkel, takut, sedih, bimbang dan lain-lain. Perasaan-perasaan seperti itu akan mengakibatkan sakit hati dan lama-kelamaan akan menjadi luka batin.

Suster Lusi dan Romo di atas adalah pribadi yang tidak dapat mengontrol dan mengolah perasaanya dengan baik. Ketika mereka mengalami sesuatu, mereka tidak langsung mengungkapkannya, justru mereka menyimpannya dan lama kelamaan menjadi luka batin. Ketika masih menjadi aspiran, suter Lusi sudah menyimpan perasaan negatif kepada suster Maria. Perasaan itu tidak pernah ia ungkapkan apalagi dikomunikasikan langsung kepada orangnya. Sang Romo pun tidak berterus terang kepada uskupnya dan berani mengungkapkan perasaanya itu. Ia terus bergulat dengan kekesalannya kepada uskup. Ketika tumpukan-tumpukan perasaan sakit hati itu semakin besar dan meledak, yang berbicara hanyalah emosi bukan lagi akal budi. Oleh karena itu santo Ignasius sangat menganjurkan untuk tidak pernah mengambil sebuah keputusan penting di saat perasaan tidak stabil.

Perasaan yang tidak diekspresikan sama seperti sebuah bola yang ditekan ke dalam air. Semakin lama dan semakin kuat ditekan, dorongan dari bawah akan semakin kuat pula. Dan ketika sekali waktu terlepas, bola itu akan terdorong jauh keatas. Ketika meledak, perasaan itu akan menjadi tidak terkontrol lagi dan akan menghasilkan tindakan-tindakan yang tidak kita sadari. Oleh karena itu, perasaan perasaan yang kita alami hendaknya selalu diolah. Jangan menunda dan jangan tunggu sampai besok. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri (Mat. 6:34). Kebiasaan melakukan examen (pemeriksaan batin) setiap hari sangatlah membantu. Karena pada saat itulah kita mengolah segala pengalaman dan perasaan kita hari itu.

 

Mengolah kecenderungan manusiawi

Kecenderungan manusiawi dan kebiasaaan masa lalu seorang imam atau biarawan-biarawati tidak hilang dengan adanya tahbisan. Kecenderungan manusiawi akan tetap ada karena pada dasarnya perasaan-perasaan itu memang sudah melekat dalam diri manusia. Karena itu kecenderungan manusiawi itu harus diolah. Adapun cara mengolahnya adalah:

Pertama, mengakui dan menghargai perasaan. Perasaan adalah sesuatu yang tidak bisa kita sangkal. Karena itu, mau tak mau kita harus mengakuinya. Mengakui perasaan berarti menyadari dan menerima perasaan apa yang sedang kita alami saat ini. Misalnya sedang jengkel, marah, sedih, iri, senang dan sebagainya. Pada dasarnya perasaan itu netral, belum ada unsur negatif atau positifnya. Karena itu, kita tidak perlu merasa bersalah jika kita mengalami perasaan benci, marah atau iri terhadap seseorang. Tindak lanjut dari perasaan itulah yang kemudian akan bernilai negatif atau positif yakni ketika perasaan itu diwujudkan dalam tindakan, karena itu sebelum diwujudkan, perasaan itu harus dinilai terlebih dahulu.

Kedua, menilai perasaan. Setelah menyadari perasaan itu, langkah selanjutnya adalah menilainya. Menilai perasaan sama dengan menimbang-nimbang atau melihat lebih jauh perasaan itu.. Misalnya dengan bertanya: apakah perasaan itu pantas  saya ungkapkan, apakah saya akan ungkapkan sekarang atau saya simpan lebih dahulu, lalu jika saya ungkapkan bagaimana saya mengungkapkannya, mengapa perasaan itu muncul: apa sebabnya?

Memang menilai sebuah perasaan yang muncul tidaklah mudah. Apalagi ketika kita sedang dikuasai oleh emosi. Oleh karena itu sebaiknya kita menenangkan diri lebih dahulu. Hal ini sama seperti seorang yang akan mencari sebuah benda yang baru saja jatuh ke dalam air yang keruh. Ia tidak akan mendapatkan benda itu jika ketika benda itu jatuh, ia langsung ingin mengambilnya. Air yang keruh itu sebaiknya ditenangkan lebih dahulu baru setelah tenang dan mulai jernih, benda itu dicari dan diambil. Perasaan juga demikian, harus ditenangkan lebih dahulu. Menenangkan diri itu sangatlah penting, karena tidak jarang konflik dengan orang lain itu disebabkan karena kita tergesa-gesa mengambil sikap atas perasaan yang kita rasakan.

Ketiga, mengungkapkan perasaaan. Bagaimanapun juga perasaan itu harus diungkapkan. Ada banyak cara untuk mengungkapkan perasaan, misalnya dengan men-sharing-kannya pada orang yang kita percaya, melakukan katarsis (mengungkapkan perasaan pada suatu kegiatan atau benda lain, misalnya pada buku harian) atau yang paling sering dilakukan yaitu mengungkapkannya dalam doa. Namun yang paling penting adalah kita harus berani berterus terang kepada pribadi yang bersangkutpaut dengan perasaan itu. Kadang-kadang luka batin terjadi karena adanya miskomunikasi. Suster Maria dalam contoh di atas mungkin saja tidak bermaksud menyaingi suster Lusi, demikian juga sang uskup yang tidak memutasi sang Romo, bisa jadi karena uskup melihat bahwa sang Romo memang lebih dibutuhkan di paroki daripada di tempat lain.

 

Penutup

Tahbisan atau kaul memang bukanlah penjamin terhapusnya semua kecenderungan manusiawi yang ada dalam diri para imam atau biarawan-biarawati. Perasaan-perasaan yang kadang-kadang berujung pada sakit hati dan luka batin akan selalu saja ada. Namun tidak berarti bahwa kecenderungan manusiawi itu menjadi penghalang untuk tetap mempertahankan panggilannya. Bahkan Yesus sebagai sang Guru kita pun mempunyai perasaan yang sama dengan kita. Dia juga pernah marah (Mrk.11:15), sedih dan menangis (Yoh.11:33; Mat.26:38), gembira (Luk.18:16) atau jengkel ketika murid-muridNya tidak mengerti pengajaranNya. Semua perasaan Yesus itu hendak menunjukkan kepada kita bahwa untuk tetap bertahan dalam panggilan tidak berarti bahwa kita harus selalu bersih secara total dari kecenderungan-kecenderungan manusiawi. Menjadi imam atau biarawan-biarawati tidak berarti harus sama seperti malaikat. Menjadi imam atau biarawan-biarawati berarti berani memepersembahkan kemanusiaan kita kepadaNya apa adanya dan berani menjadi abdiNya untuk menyebarluaskan kerajaanNya di dunia ini.

 

Oleh: Cornelius Timang

Kaliurang, 3 Mei 08


Tidak ada komentar: