Minggu, 30 Agustus 2009

Masa depan Pendidikan imam

Lain Dulu Lain Sekarang

 

 

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 05.25, namun suasana kapel masih sepi.

Apakah mungkin para frater belum sadar bahwa misa hari ini adalah misa komunitas? Jangan-jangan  mereka masih tertidur pulas di atas kasur nan empuk bersama bantal yang setia menunggu. Ah, tetapi hari ini kan hari Senin, masakan para frater sudah lupa hari, pikirku dalam hati. Sekali lagi kupalingkan wajahku pada  jam dinding  kusam yang berada tepat di belakangku. Ah, jam begini seharusnya semua frater sudah berada di kursi masing-masing untuk mempersiapakan diri memadahkan kidung dan Mazmur dari buku ibadat harian. Namun sayup-sayup kudengar sang pemimpin ibadat telah melantunkan doa Angelus.  Itu pertanda ibadat sudah dimulai. Tidak ada lagi yang ditunggu.

Suasana sepi masih terus terlihat pada hari-hari selanjutnya. Banyak kursi yang kosong. Lantunan lagu yang selama ini terdengar meriah, kini hanya sayup-sayup terdengar.  Tak adakah yang peduli??

 

Memprihatinkan!!!

Sunyi, sepi,  kering dan senyap.  Itulah suasana Seminarium Anging Mammiri saat ini. Suasana di lapangan olahraga tidak seramai dulu lagi. Banyak cabang olahraga yang tidak bisa lagi dimainkan karena kurang personelnya. Kamar-kamar para frater banyak yang kosong. Refter menjadi sepi dan  tugas seksi untuk organisasi kebidelan kini hanya ditangani oleh satu atau dua orang saja. Anging Mammiri yang selama ini dikenal sebagai produsen imam praja terbesar setelah Semarang dan Flores, kini tidak  lagi. Masa jaya pada era tahun 90-an ketika para frater mencapai 50-an orang, kini tinggal kenangan.

Tahun ini, para frater yang tinggal di AM (Anging Mammiri biasa disingkat AM)  hanya 15 frater. Tingkat I kosong (sebenarnya 2 frater, tetapi dipulangkan untuk sementara karena belum mengikuti TOR), tingkat II ada 6 frater, tingkat III 2 frater, tingkat IV 6 frater (1 frater sedang menjalani  ekstra-domus),  tingkat V ada 2 frater dan tingkat VI kosong. Dari ke-16  plus 2 Torer dan 6 Toper itu, yang kelak akan menjadi imam berapa orang? Pada 8 tahun ke depan, pertambahan imam paling banyak 20 orang.  Sementara itu jumlah umat saat itu pasti akan jauh lebih banyak. Pada tahun 2006 jumlah umat KAMS adalah sekitar 190.181 jiwa, yang dilayani 89 imam. Dapat dibayangkan betapa minimnya jumlah imam KAMS pada 10 tahun mendatang. Dan saat itu jumlah umat mungkin sudah mencapai 200.000-an jiwa.

Jika pertambahan jumlah umat yang sangat pesat tidak diimbangi oleh bertambahnya jumlah imam, 10-20 tahun ke depan KAMS mungkin akan kembali mengalami krisis imam. Atau bahkan akan kembali mengulang sejarah pada akhir tahun 1970 yaitu ketika Dewan Pastoral  se-kota Makassar menulis surat ke KWI agar mengajukan permohonan ke Vatikan untuk diberi kemungkinan ditahbiskannya  imam yang berkeluarga. Alasannya, saat itu imam yang ditahbiskan sebelumnya mengundurkan diri. Apalagi banyak frater yang juga  mengundurkan diri. Saat ini masalahnya adalah memang karena calon imam yang sangat berkurang. Para seminaris di SPECLA (Seminari Menengah St. Petrus Claver Makassar) lebih banyak yang memilih menjadi awam daripada menjadi imam, apalagi imam praja. Untuk tahun ini, seminaris SPECLA yang lanjut ke TOR hanya 1 orang.

Berhadapan dengan kenyataan seperti ini, kita patut bertanya mengapa demikian? Sudah selayaknyalah kita mengkaji lebih jauh, apakah penyebabnya? What's wrong???

 

Ada Apa Dengan Seminari???

Merosotnya jumlah calon imam praja KAMS dalam beberapa tahun terakhir ini  menjadi keprihatinan tersendiri bagi Uskup, imam, frater dan bahkan umat secara keseleruhan. Karena itu, dalam salah satu sesi pada retret bulan Juni yang lalu, para frater AM secara khusus membahas masalah ini. Rm. Kusumawanta dari komisi Seminari KWI selaku pembimbing retret, membagi para frater dalam beberapa kelompok untuk berdiskusi tentang penyebab berkurangnya calon Imam KAMS. Dari sekian banyak penyebab yang dikemukakan, sekiranya dapat disimpukan menjadi beberapa poin yaitu: pengaruh perkembangan zaman, masalah keluarga dan masalah formatio.

Pengaruh Zaman

Seminari sebagai bagian dari masyarakat global, tidak dapat lagi membendung pengaruh perkembangan zaman. Hedonisme, konsumerisme, egoisme dan budaya instan sebagai dampak perkembangan zaman, kini menembus tembok-tembok asrama atau biara. Lihat saja seminaris sekarang ini. Pada waktu rekreasi, sangat jarang dijumpai seminaris yang berkumpul di pendopo atau di ruang rekreasi, bercerita, bersharing atau sekadar ngobrol. Sebaliknya akan lebih banyak kita jumpai seminaris yang duduk sendiri sambil mendengarkan walkman, MP3, MP4 dan ipod. Atau pada hari Minggu pada waktu ambulatio (saat dimana seminaris boleh keluar dari asrama), seminaris jarang sekali mengajak teman-temannya untuk ambulatio bersama ke rumahnya atau ke rumah keluarganya. Akan lebih banyak yang pergi sendiri ke mall atau warnet. Tampaknya nilai-nilai kebersamaan, solidaritas sudah semakin memudar. Akibatnya, masing-masing seminaris sibuk dengan dunianya sendiri. Sehingga ketika menjumpai masalah dalam pangggilannya, ia akan bergulat sendiri dan mengambil langkah sendiri. Padahal  teman-teman sepanggilan, terutama teman seangkatan sangat berperan penting dalam panggilan.

Kecuali itu, perkembangan ilmu pengetahuan yang diiringi oleh perkembangan teknologi, kini memberikan tawaran yang lebih menarik dan menjanjikan. Misalnya  jurusan Teknologi Informasi atau STAN (Sekolah Tinggi Administrasi Negara) yang prospeknya sangat  menjanjikan. Bagaimana mungkin para seminaris tertarik untuk menjadi imam bila ada tawaran hidup yang lebih memikat dan menggiurkan yang sangat bertolak belakang dengan yang ditawarkan kehidupan imam?

Nilai-Nilai dalam Keluarga

Keluarga biasa juga disebut sebagai seminari kecil. Dalam keluargalah dasar-dasar iman dan nilai-nilai Kristiani ditanamkan. Keluarga juga memegang peranan penting dalam panggilan. Ada banyak seminaris yang akhirnya menjadi imam berasal dari keluarga Kristiani yang sangat beriman. Kebanyakan adalah para aktivis Gereja, misalnya pengantar, katekis, guru agama ataupun pengurus Gereja. Tetapi sebaliknya ada pula seminaris yang sebenarnya ingin menjadi imam tetapi berhenti karena keluarganya tidak setuju. Alasannya entah karena dia anak tunggal, atau karena hanya dia anak laki-laki dalam keluarganya.  Ada pula keluarga yang patut diacungi jempol, karena ia tetap mendukung dan memberikan kebebasan kepada anaknya untuk menjadi imam kendatipun orang tuanya berbeda agama.

Dalam salah satu kegiatan live-in, saya bertemu dengan seorang ibu yang mengatakan, "Ter, kami mendoakan semoga frater kelak bisa menjadi imam dan juga semoga semakin banyak anak muda yang terpanggil untuk menjadi imam." Setelah berkata demikian, suami ibu itu langsung berkata, "Tetapi kalau anak kita yang jadi imam?" Ibu itu langsung terdiam. Doa dan dukungan memang penting, tetapi yang lebih penting adalah tindakan nyata yang terwujud dalam pengorbanan.

Masalah Formatio

Benih panggilan yang tumbuh dalam diri seorang seminaris akan sangat bergantung pada proses formatio selama di Seminari. Yang terlibat langsung dalam proses formatio itu adalah formator (staf), formandi (seminaris) dan yang paling utama adalah Formator Utama yaitu Yesus. Ketiga pihak ini harus saling mendukung dan saling memberikan iklim yang kondusif untuk semakin suburnya panggilan itu.

Seorang formator seharusnya  bisa menjadi formator yang baik bagi seminarisnya, sehingga mereka dapat membantu dalam pembentukan jati diri seminaris agar dapat menjadi imam yang handal. Oleh karena itu, sebaiknya formator juga mempunyai jati diri yang handal, memiliki kekayaan rohani yang cukup, bijaksana, kreatif, berwibawa, emosi dan afeksi yang matang, cerdas, berjiwa muda dan yang paling penting adalah dapat diteladani.

Para seminaris juga harus rela memberi diri untuk dibentuk. Yang harus selalu diingat adalah bagaimanapun juga posisi seminaris adalah formandi atau yang dibentuk. Sikap penyerahan diri dan kerelaan untuk dibentuk sangatlah penting. Namun dalam proses pembinaan, seminaris kadang-kadang merasa lebih pandai daripada stafnya. Karena itu, kritikan, rasa tidak setuju atau tidak bisa menerima akan selalu terdengar. Dan yang selalu disalahkan pastilah staf.

Dalam suatu perbincangan dengan beberapa eks-seminari, saya menanyakan mengapa mereka tidak ingin menjadi imam. Mereka hanya menjawab singkat, "Karena staf." Ternyata alasan seperti ini sangat populer dan menjadi alasan mayoritas eks-seminari. Bagi saya, alasan seperti ini sangat tidak masuk akal dan sangat dangkal. Yang akan menjadi imam siapa: staf atau saya? Padahal dikatakan bahwa formator utama adalah Tuhan yang telah memanggilnya. Staf hanya mendampingi, mengarahkan dan menunjukkan jalan bagi seorang seminaris untuk menjadi imam.

PR Kita…

Semangat untuk menjadi imam dan khususnya menjadi imam praja KAMS memang kini berkurang. Ini menjadi PR kita bersama, baik uskup, imam, staf, seminaris, keluarga dan umat pada umumnya. Tidak ada pihak yang patut disalahkan. Ini adalah masalah kita bersama. Karena itu dibutuhkan: pertama, partisipasi kita semua. Mari kita bertanya pada diri kita, sudah sejauh mana partisipasi saya dalam proses perkembangan dan kelanjutan panggilan imam? Sejauh mana saya telah menjalankan tugas saya sebagai imam atau staf dengan baik? Dan bagi calon imam, sudah sejauh mana saya membuka diri untuk dibentuk dan juga untuk saling mendukung dalam panggilan. Kedua, keteladanan dan kesaksian hidup. Apakah saya talah memberikan teladan yang baik bagi para seminaris saya atau bagi rekan sepanggilan saya? Saat ini promosi panggilan yang paling cocok adalah adanya kesaksian hidup. Dan yang ketiga, partisipasi dan keterlibatan. Mata seminaris sebaiknya dibuka untuk melihat realitas umat saat ini. Dan model live-in atau terjun langsung ke tengah umat sangatlah cocok. Tujuannya adalah agar seminaris peka melihat kebutuhan umat saat ini. Ternyata tuaian memang banyak, tetapi pekerjanya  masih sangat sedikit.

 


Tidak ada komentar: