Kamis, 27 Agustus 2009

Pekerja Belakang Layar

Pekerja Belakang Layar
Perjalanan panggilan seorang calon imam tidak dapat dipisahkan dari keterlibatan banyak pihak. Keluarga, para staf, rekan seangkatan, dan tidak lupa para karyawan-karyawati juga mengambil peran yang sangat besar. Mereka mengambil bagian dalam perjalanan panggilan calon imam dengan caranya sendiri. Namun ketika seorang calon imam sudah menjadi imam, para karyawan atau karyawati sering terlupakan, bahkan bagi kebanyakan umat mereka tidak dikenal. Padahal mereka sangatlah berjasa dalam kehidupan para calon imam itu. Sebut saja misalnya Matius Slamet Hartono atau yang lebih akrab dipanggil Mas Slamet, karyawan di Seminarium Anging Mammiri, Yogyakarta.
Mas Slamet adalah salah satu karyawan senior yang telah mengabdikan lebih dari separuh hidupnya di Seminarium Anging Mammiri, Yogyakarta. Tahun ini ia genap 31 tahun mengabdi. Selama 31 tahun itu, pasti sudah banyak pengalaman yang dialaminya, entah yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Ketika ditanya lebih banyak suka atau duka yang dialami selama bekerja di Anging Mammiri, dengan tenang dan penuh kelembutan ia menjawab, suka dan duka dalam pekerjaan itu memang sudah seharusnya. Karena itu harus melakukan pekerjaan dengan senang hati.

Kuncinya adalah Kesabaran
31 tahun lalu, tepatnya bulan Mei tahun 1978, atas permintaan Pastor A. Denissen, CICM, Mas Slamet pun mulai bekerja di Anging Mammiri. Sebelumnya ia telah mengabdikan diri selama 7 tahun di Seminari Tinggi Kentungan. Saat itu pula para frater KAMS juga masih bergabung dengan para frater KAS (Keuskupan Agung Semarang). Namun karena jumlah calon imam KAMS semakin banyak dan asrama Seminari Tinggi Kentungan sudah tidak mampu menampung mereka, maka para frater KAMS pun membuat asrama sendiri yang letaknya hanya 400 meter sebelah utara Seminari Tinggi Kentungan.
31 tahun bukanlah waktu yang singkat, dan untuk bertahan selama itu adalah sesuatu yang patut diacungi jempol. Ketika ditanya mengapa dia masih bertahan dan masih tetap semangat dalam tugasnya, pria kelahiran Jogja, 30 April 1955 ini, dengan medoq Jawanya yang kental menjawab, kuncinya adalah kesabaran dan tanggung jawab. Seringan apa pun pekerjaan kita, jika kita tidak sabar dan hanya mengeluh, maka pekerjaan itu justru akan terasa berat. Saya selalu berusaha menikmati pekerjaan saya. Menikmati pekerjaan merupakan proses pendewasaan. Jika saya lelah, saya istirahat. Jika sekarang pekerjaannya belum selesai…ya besok lagi…kalau belum juga…ya lusa. Tetapi tidak berarti bahwa saya tidak bertangung jawab. Saya hanya berusaha bekerja semampu saya, saya tidak akan memaksa diri, katanya dengan penuh keyakinan. Selain sabar, saya juga berusaha untuk tidak mengeluh. Mengeluh, toh tidak akan menyelesaikan pekerjaan. Dengan mengeluh, pekerjaan justru bertambah berat, lama-lama jadi stress. Dalam bekerja, pikiran harus santai tetapi kerjanya jangan santai..katanya sambil senyum. Bekerja memang berat, tetapi itulah risiko kerja, tambahnya.
Sebagai karyawan di Anging Mammiri, yang setiap hari membantu para frater membersihkan dan mencuci pakaian para romo, Mas Slamet selalu merasa senang. Dia merasa bahwa apa yang dilakukannya sekarang adalah salah satu bentuk partisipasinya dalam pendidikan calon imam. Karena itu dia sangat prihatin melihat semakin sedikitnya orang yang tertari menjadi imam, termasuk calon imam dari KAMS.

Fr. Cornelius Timang

Tidak ada komentar: