Kamis, 27 Agustus 2009

Opini: Menimbang Mutu TPA

Menimbang Mutu TPA

Menarik bahwa pada tahun ini Panitia Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNM-PTN) memperkenalkan Tes Potensi Akademik (TPA) untuk mengukur kemampuan calon mahasiswa baru. Menarik karena meski hanya mampu mengukur Intelegent Quotient (IQ), toh hasil TPA tetap dijadikan sebagai ukuran diterima-tidaknya calon mahasiswa pada suatu perguruan tinggi. Seakan IQ yang tinggi sudah menggambarkan kemampuan dan keberhasilan seseorang. Apakah memang hasil TPA mampu mewakili ekspresi kecerdasan seseorang? Bukankah banyak segi yang juga harus diukur untuk menilai kemampuan dan keberhasilan seseorang?
Memang pelaksanaan TPA tidak akan lepas dari masalah. Bisa saja seorang calon mahasiswa ber-IQ tinggi tetapi gagal tes karena tidak tahu bentuk soal TPA. Namun ada pula mahasiswa ber-IQ pas-pasan tetapi berhasil dalam tes karena ia sudah terbiasa dan terlatih dengan soal-soal TPA. Jika demikian berarti hasil TPA tidak dapat menjamin tingkat kecerdasan calon mahasiswa. Selain itu, keberhasilan seorang mahasiswa ternyata tidak hanya dipengaruhi oleh IQ yang tinggi. Faktanya, ada banyak mahasiswa yang IQ-nya rata-rata tetapi bisa menyelesaikan kuliahnya tepat pada waktunya dan justru berhasil di tengah masyarakat. Sementara ada mahasiswa yang IQ-nya tinggi namun menjadi MABA (mahasiswa abadi) dan menjadi “pengacau” dalam masyarakat.
Para psikolog modern seperti Goleman, Paul Stoltz, dan Howard Gardner mengatakan bahwa tes IQ tidaklah cukup untuk menilai potensi kecerdasan seseorang tetapi dibutuhkan juga tes EQ (Emotional Quotient), AQ (Adversity Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient). Yang dimaksud dengan EQ adalah kecerdasan emosi atau sadar diri. Seseorang yang EQ-nya tinggi adalah orang yang bisa menerima diri apa adanya dan bisa mengontrol emosi (baca: perasaan)-nya. EQ ini sangat penting dimiliki oleh semua orang khususnya para mahasiswa. Demonstrasi yang tidak bertanggungjawab atau perkelahian antar mahasiswa, merupakan salah satu indikasi kurangnya EQ.
Yang kedua adalah AQ yaitu kecerdasan yang diperlukan dalam menghadapi rintangan dan hambatan. Seorang mahasiswa dididik bukan hanya untuk mengetahui teori yang diperoleh melalui kuliah di kelas maupun perpustakaan. Yang lebih penting adalah bagaimana mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya itu dalam hidup sehari-hari, baik untuk dirinya maupun untuk masyarakat sekitar. Ketika terjun ke tengah masyarakat akan dijumpai begitu banyak masalah, seperti masalah politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. Berhadapan dengan masalah itu, para mahasiswa tidak boleh hanya menjadi penonton tetapi harus sekaligus sebagai pemain.
Dan yang ketiga adalah SQ yaitu kesadaran akan diri: siapakah saya, untuk apa saya hidup, dari mana saya berasal dan kemana saya akan pergi. Pertanyaan tentang arti hidup dan makna hidup semacam ini sudah semakin kurang disadari sekarang ini. Padahal jika kita refleksikan lebih dalam, sebenarnya kita semua berasal dari Sang Pencipta yang sama dan akan kembali kepadaNya. Jadi sebenarnya hidup manusia di dunia ini hanyalah sementara dan apa pun yang dimiliki tidaklah abadi. Karena itu seharusnya kita hidup secara wajar saja. Cukupkanlah diri kita dengan apa yang kita miliki. KKN, penindasan, penganiayaan, trafficking dan masalah pelanggaran HAM lainnya, inilah indikasi kurangnya SQ. Masalahnya sekarang adalah bahwa kesadaran akan SQ atau moral sudah kurang ditanamkan, apalagi di perguruan tinggi. Lihat saja, berapa banyak perguruan tinggi yang masih memasukkan mata kuliah Pendidikan Agama dalam program pembelajarannya?
TPA sebagai sebagai alat untuk menyeleksi para calon mahasiswa, sebenarnya sangatlah baik. Namun jika tes itu hanya mampu mengukur IQ calon mahasiswa semata tanpa menyentuh segi EQ, AQ dan SQ maka TPA sesungguhnya tidak memiliki makna yang berarti untuk mengukur kemampuan calon mahasiswa. Oleh karena itu TPA juga seharusnya dilengkapi dengan tes psikologis calon mahasiswa. Dengan tambahan tes psikologis ini diharapakan aspek IQ, EQ, AQ dan SQ dapat diukur dalam diri calon mahasiswa.
Cornelius Timang
Mahasiswa fakultas teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Tidak ada komentar: